Sastra vs Sains, Berpikir Kritis dan Multidisiplin untuk Masa Depan Bangsa

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Okky Madasari, sastrawan Indonesia dan kandidat PhD National University of Singapore, membuka paparan Studium Generale Rabu (17/2/2021) dengan menyuarakan secara lantang tiga fakta historis Indonesia semasa menjadi wilayah jajahan. Pertama, pemerintah saat itu memang menyediakan pendidikan, tetapi hanya untuk kepentingan kolonial. Kedua, Indonesia—dan negara jajahan lainnya—tidak dirancang untuk maju dalam sektor industri, melainkan hanya dimaksimalkan pengerukan sumber daya alamnya. Ketiga, banyak stereotipe dan mitos negatif yang disebarkan, contohnya tentang kemalasan orang Jawa.

“Apakah orang Jawa malas? Tidak!” Okky menjabarkan betapa masyarakat Jawa mampu membangun peradabannya sendiri sebelum Nusantara dijajah. Cap malas tersebut lahir dari standar yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial, yang saat itu memiliki kekuasaan. Terlebih, cap malas tersebut memang sengaja dihadirkan agar muncul internalisasi stereotipe dan mitos di kalangan masyarakat pribumi. Internalisasi tersebut menyebabkan inferiority complex, perasaan rendah diri dan merasa tidak lebih baik daripada orang luar. Buntutnya adalah captive mind ‘pikiran yang terbelenggu’. Akibatnya, banyak mind’s block yang terbentuk dan menghambat individu-individu tumbuh.

Secara struktural, dapat dikatakan penjajahan akhirnya menyebabkan budaya ketergantungan, baik dari segi akademik, ekonomi, hingga industri. Kita terbiasa mengikuti sistem global, terbiasa membiarkan diri dalam kontrol pihak-pihak eksternal diri kita. Hal tersebut telah dikritik oleh banyak karya sastra. Contohnya karya Multatuli dan Pramoedya Ananta Toer. Melalui "Kerumunan Terakhir", Okky juga bangkit untuk mengkritisi kondisi tersebut yang berlarut-larut di Indonesia hingga hari ini.

Sejarah yang bertalian dengan realitas saat ini adalah sebuah kompleksitas. Kompleksitas sendiri, disebutkan oleh Okky, adalah titik utama makna “multidisiplin”. Sastra membantu kita membaca gambaran besar dari kompleksitas itu, sehingga kita bertanya, berpikir kritis, dan berusaha melahirkan kreativitas dan inovasi untuk dapat mengatasinya.


Itulah yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia saat ini. Sekalipun Industri 4.0 banyak digaungkan, mestinya kita menyampingkan itu terlebih dahulu dan meluruskan apa yang sebenarnya Indonesia masa depan butuhkan. “Kita butuh kreativitas, invoasi, kemandirian; bukan sekadar menjadi konsumen, bukan sekadar penghasil bahan mentah,” tegas Okky.

Selain itu, hal yang terpenting, orientasi akhir kita mestilah keberpihakan pada kemanusiaan. Kita perlu belajar dari karya sastra, salah satunya Minke dalam “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Minke mendedikasikan ilmunya bagi kepentingan masyarakat, bukan saja bagi dirinya sendiri. Okky mengimbau seluruh mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) melakukan hal serupa. Apapun bidang dan profesinya nanti, mestilah kita bergerak demi kemanusiaan.

Menjelang akhir, Okky Madasari menekankan pentingnya membaca karya sastra. Dia menyatakan bahwa ilmuwan yang tidak membaca karya sastra hanya akan menghasilkan gagasan kering, tak inovatif, tak berjiwa, dan tak menyuarakan kemanusiaan. “Sastra memberi arah ke mana sains menuju,” ujar Okky menutup paparannya.

Reporter: Zahra Annisa Fitri (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)