Seminar Arsitektur Lanskap : Tantangan Pengelolaan Taman Berkelanjutan
Oleh kristiono
Editor kristiono
BANDUNG, itb.ac.id - Sacha Abendroth, Mahasiswa Landscape Planning dari Fachnochschule Erfurt University of Applied Sciences, Selasa (17/02/09) menguraikan hasil kajiannya mengenai Urban Biodiversity di Galeri Arsitektur ITB. Presentasi Sacha merupakan bagian mata acara dari Seminar Arsitektur Lanskap bertajuk "The Challenge of Sustainable Gardens Design in Bandung", terselenggara atas kerjasama Prodi Arsitektur ITB dan Universitas Erfurt, Jerman.
Dalam forum yang dihadiri oleh civitas akademik dari ITB, ITS, Universitas Bandung Raya serta perwakilan pemerintah daerah ini, Sacha menguraikan pentingnya ruang publik sebagai lokasi urban biodiversity dalam kehidupan komunitas perkotaan. Secara sistematis Sacha menyampaikan bahasan materi mulai dari definisi, karakter, manfaat dan tantangan yang dihadapi oleh urban biodiversity di masa depan. Biodiversitas, didefinisikan sebagai keragaman dan kekayaan makhluk hidup baik ditingkat genetis, spesies hingga habitat, dapat ditemukan di ruang-ruang kota seperti lingkungan perumahan, taman dan ruang publik. Biodiversitas kota penting dipertahankan karena keberadaannya dapat merefleksikan budaya komunitas di kota tersebut.
Sacha didampingi oleh pembimbingnya Prof H Schumacher dari Universitas Erfurt Jerman. Dalam sambutan singkatnya, Prof Schumacher berpendapat pengelolaan urban biodiversity harus dilakukan secara berkelanjutan. Dengan membawa perspektif ini, lanjut Schumacher, urban biodiversity tidak boleh dipandang hanya sebagai satu dimensi saja, melainkan multidimensi. Salah satu strategi mengelola urban biodiversity secara berkelanjutan, kata Schumacher, adalah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Sementara itu, mengenai regulasi yang mengatur keberadaan ruang-ruang publik, Schumacher meyakini bahwa setiap negara memiliki kekhasan peraturan masing-masing. Namun demikian, keberadaan regulasi yang berbeda-beda ini hendaknya dimaknai secara umum yakni sebagai upaya untuk menjaga kelestarian keberadaan ekologi perkotaan.
Acara seminar yang berlangsung di Galeri Arsitektur ini juga diisi dengan presentasi karya peserta workshop dengan tema yang sama yang dilakukan selama seminggu sebelumnya. Dalam seminar ini, turut hadir beberapa pengajar di Program Studi Arsitektur ITB, salah satunya adalah Dr Himasari Hanan yang bertindak sebagai moderator selama sesi diskusi. Workshop ini sedikitnya diikuti oleh peserta dari latar belakang keilmuan Biologi, Planologi dan Arsitektur.
Taman Ganesha, Bergaya Spanyol
Taman Ganesha yang berlokasi persis berhadapan dengan pintu masuk gerbang utama kampus Ganesha ITB merupakan taman pertama di Indonesia yang bergaya Spanyol. Ciri khas taman yang dahulu berjuluk Ijzermanpark adalah tangga masuk menurun membentuk "sunken garden". Demikian disampaikan oleh Guru Besar (purnabakti) Program Studi Arsitektur Prof. Slamet Wirasonjaya. Dalam kesempatan ini, arsitek Gedung DPR/MPR RI ini secara ringkas memberikan penerangan mengenai sejumput sejarah taman dan ruang publik di Kota Bandung. Presentasi Prof Slamet selama tiga puluh tahun berjudul "History of Bandung Green Open Space : Reviewing the Past".
Prof Slamet menguraikan taman-taman di Kota Bandung sangat dipengaruhi oleh gaya renaisance di Eropa seperti gaya Italia untuk Taman IShola, gaya Inggris untuk Taman Pramuka dan Taman Maluku. Dan Taman Ganesha yang dipengaruhi gaya Spanyol. Menurut Prof Slamet, Taman Kota sebagai ruang publik idealnya terbuka untuk seluruh komunitas dan haruslah saling terintegrasi dengan utilitas kota yang lain.
Sacha didampingi oleh pembimbingnya Prof H Schumacher dari Universitas Erfurt Jerman. Dalam sambutan singkatnya, Prof Schumacher berpendapat pengelolaan urban biodiversity harus dilakukan secara berkelanjutan. Dengan membawa perspektif ini, lanjut Schumacher, urban biodiversity tidak boleh dipandang hanya sebagai satu dimensi saja, melainkan multidimensi. Salah satu strategi mengelola urban biodiversity secara berkelanjutan, kata Schumacher, adalah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Sementara itu, mengenai regulasi yang mengatur keberadaan ruang-ruang publik, Schumacher meyakini bahwa setiap negara memiliki kekhasan peraturan masing-masing. Namun demikian, keberadaan regulasi yang berbeda-beda ini hendaknya dimaknai secara umum yakni sebagai upaya untuk menjaga kelestarian keberadaan ekologi perkotaan.
Acara seminar yang berlangsung di Galeri Arsitektur ini juga diisi dengan presentasi karya peserta workshop dengan tema yang sama yang dilakukan selama seminggu sebelumnya. Dalam seminar ini, turut hadir beberapa pengajar di Program Studi Arsitektur ITB, salah satunya adalah Dr Himasari Hanan yang bertindak sebagai moderator selama sesi diskusi. Workshop ini sedikitnya diikuti oleh peserta dari latar belakang keilmuan Biologi, Planologi dan Arsitektur.
Taman Ganesha, Bergaya Spanyol
Taman Ganesha yang berlokasi persis berhadapan dengan pintu masuk gerbang utama kampus Ganesha ITB merupakan taman pertama di Indonesia yang bergaya Spanyol. Ciri khas taman yang dahulu berjuluk Ijzermanpark adalah tangga masuk menurun membentuk "sunken garden". Demikian disampaikan oleh Guru Besar (purnabakti) Program Studi Arsitektur Prof. Slamet Wirasonjaya. Dalam kesempatan ini, arsitek Gedung DPR/MPR RI ini secara ringkas memberikan penerangan mengenai sejumput sejarah taman dan ruang publik di Kota Bandung. Presentasi Prof Slamet selama tiga puluh tahun berjudul "History of Bandung Green Open Space : Reviewing the Past".
Prof Slamet menguraikan taman-taman di Kota Bandung sangat dipengaruhi oleh gaya renaisance di Eropa seperti gaya Italia untuk Taman IShola, gaya Inggris untuk Taman Pramuka dan Taman Maluku. Dan Taman Ganesha yang dipengaruhi gaya Spanyol. Menurut Prof Slamet, Taman Kota sebagai ruang publik idealnya terbuka untuk seluruh komunitas dan haruslah saling terintegrasi dengan utilitas kota yang lain.