Dalam Pencarian ‘Sense of Space’
Oleh
Editor
Adakah Anda salah seorang dari sivitas ITB yang mengawali hari Anda di kampus dengan berjalan menyusuri Taman Ganesha, menyeberang Jalan Ganesha dan yang kini acapkali tertutup bercak-bercak kotoran burung koak, lalu melintas pergola yang menghubungkan Aula Barat dan Timur, mengangkat kaki Anda melewati rantai setinggi lutut yang terbentang di depan boulevard, terpercik butiran-butiran air mancur ‘Indonesia tenggelam’ yang kala siang membaurkan sinar mentari menjadi pelangi, kemudian berbelok ke arah Barat atau Timur untuk menuju ruangan kuliah Anda pada hari itu? Adakah Anda merasa rutinitas itu istimewa?
Ketika Henri MacLaine Pont merancang bangunan THS Bandung pada tahun 1918, ia telah ikut mempertimbangkan konsep yang pada masa kini dinamakan ‘sense of place’ dan ‘sense of identity’ dalam bidang arsitektur. Dengan latar belakang pemandangan Gunung Tangkuban Perahu, kampus THS Bandung yang sekarang bernama ITB ini dirancang dengan konsep bahwa ketika seseorang berjalan dari Taman Ganesha menuju kampus ITB, ia akan melewati sebuah vista yang mengarah kepada pemandangan Gunung Tangkuban Perahu di kejauhan.
Pont menginginkan agar perjalanan dari Selatan ke Utara kampus THS Bandung itu menjadi lebih dari sekadar perjalanan dengan pemandangan indah. Ia menginginkan agar perjalanan itu sebuah pengalaman tersendiri yang menimbulkan kesan dalam perasaan seseorang. Inilah yang disebut dengan ‘sense of place’. ‘Sense of place’ didefinisikan Reeve sebagai ‘human perception of a specific environment, in other words how a person feels about that place while experiencing it or recalling it’. ‘Sense of place’ tercipta karena perpaduan berbagai elemen: bangunan, ruang interior dan eksterior, cahaya, iklim, dsb. Kesemuanya membentuk kesan tertentu bagi orang yang berada di suatu tempat.
Pada tahun 1970, Prof. Slamet Wirasonjaya dengan timnya ditugaskan untuk menyusun masterplan dan melakukan proyek renovasi sekaligus pembangunan ITB hingga menjadi seperti yang kita kenal sekarang. Masterplan ini tidak hanya disusun berdasarkan ‘sense of place’, tetapi juga ‘sense of identity’, sejarah masa lalu tempat tersebut, dan visi tempat tersebut di masa depan juga turut menjadi pertimbangan dalam penyusunannya. Atas konsep-konsep tersebut, dengan tetap mempertahankan gagasan McLaine Pont, Prof. Slamet Wirasonjaya dengan timnya menyusun kampus ITB yang dibagi menjadi 3 zona: zona ‘heritage’ atau zona tradisional, zona transisi, dan zona modern.
Zona ‘heritage’ dimulai dari gerbang depan ITB hingga daerah Teknik Sipil dan Fisika. Di sini kita bisa melihat gaya arsitektur Indisch yang terkarakterisasi dengan kuat dalam bentuk atap-atap bangunannya. Zona ‘heritage’ terdiri dari beberapa bangunan asli kompleks THS Bandung waktu itu yang masih berdiri hingga sekarang, di antaranya adalah Aula Barat dan Aula Timur. Zona ini adalah bentuk apresiasi terhadap sejarah masa lalu ITB. Zona transisi sendiri diwakili oleh keempat labtek kembar di daerah Plaza Widya (Labtek V, VI, VII, VIII), bentuk atap keempat bangunan tersebut masih mengadopsi bentuk atap tradisional Aula Barat dan Aula Timur, sedangkan bentuk bangunannya sendiri telah mencerminkan masa modern. Zona modern yang dimulai dari pusat gema hingga Sasana Budaya Ganesha menggambarkan visi ITB di masa depan.
Kehadiran Campus Center pada tahun 2004 di tengah-tengah zona ‘heritage’ oleh sebagian pihak dianggap merusak masterplan ITB terdahulu yang sudah dirancang dengan sangat matang. Bangunan putih bernuansa modern ini memang sudah menuai pendapat pro dan kontra dari sejak masa perencanaannya. Oleh para mahasiswa, kehadiran Campus Center menggantikan Student Center dianggap mengubah suasana kampus menjadi tidak bergairah. “Dahulu Student Center menjadi pusat berbagai kegiatan mahasiswa, sekarang Campus Center walaupun sudah dijanjikan akan menjadi tempat unit-unit kegiatan mahasiswa, namun hingga saat ini tidak terlihat aktivitas yang menghidupkan suasana kampus,” curah seorang mahasiswa yang tergabung di salah satu unit kegiatan mahasiswa yang bersekretariat di Sunken Court.
Rini Raksadjaya, salah satu staf Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB yang juga ikut menyusun masterplan ITB pada tahun 1970 berpendapat bahwa pro dan kontra tentang keberadaan Campus Center memang akan selalu ada, namun ia menekankan bahwa arti dari preservasi wilayah tidaklah selalu berarti harus mempertahankan bentuk-bentuk yang sudah ada tanpa diganggugugat. “Kita dapat membangun dan memodifikasi wilayah tersebut dengan tetap mengacu rancangan asli dan tidak merusak tatanan yang sudah ada. Menurut saya, Campus Center sudah dibangun dengan tepat karena dengan simplisitasnya ia tidak ikut-ikutan ‘berteriak’ (terlihat berbeda jauh dengan lingkungan sekitarnya, red.),” ujarnya.
Rini juga berpendapat tatanan kampus yang sudah ada saat ini belumlah sempurna, “Karena ‘siteplanning’ juga mencakup hal-hal sederhana lain selain bangunan, seperti misalnya perabotan taman. Apabila kita perhatikan, banyak hal yang merusak ‘sense of place’ yang seharusnya dirasakan oleh sivitas yang beraktivitas di dalam kampus. Salah satu contohnya tempat sampah. Banyak tempat sampah yang ditempatkan dengan salah, tidak berada dekat dengan jalur hijau pejalan kaki. Dengan demikian bagaimana seseorang dapat merasa nyaman ketika akan membuang sampah? Ia harus berjalan jauh untuk mencapai tempat sampah. Begitu pula dengan bentuk tempat sampah yang ada saat ini. Tempat sampah berwarna hitam yang setinggi dada itu tidaklah fungsional. Di SAPPK, para pengangkut sampah bahkan mengancam jika sampahnya sampai dimasukkan ke dalam tempat sampah tersebut mereka tidak mau mengangkutnya. Itu karena mereka kesulitan mengeluarkan sampah tersebut dari tempat sampah yang tingginya sampai sedada orang dewasa tersebut.”
Bagi Rini, banyak perubahan yang telah dibuat pasca masa penyusunan masterplan ITB yang justru mengurangi nilai keindahan lanskap ITB, dan selanjutnya berpengaruh pada kegiatan komunitas. “Salah satunya adalah penempatan pohon. Jika dilihat, sebenarnya salah satu penyebab mengapa Campus Center tidak ramai dengan kegiatan mahasiswa adalah kurangnya pohon peneduh. Dahulu sewaktu masa Student Center, pohon-pohon peneduh dan bangku-bangku yang berjejer di boulevard memfasilitasi para mahasiswa yang ingin beraktivitas di sana.” Maka dari itu dibutuhkan penataan ulang kampus agar kampus ITB menjadi kampus yang nyaman bagi para sivitasnya untuk menjalankan aktivitasnya, tentunya tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisi terdahulu yang sudah dibangun.