Seminar on Logistics Challenges: Peran Perempuan, Pasar Tenaga Kerja, dan Perguruan Tinggi
Oleh Ahmad Fadil
Editor Ahmad Fadil
BANDUNG, itb.ac.id – Peran penting logistik dalam mendukung percepatan ekonomi nasional tidak dapat dimungkiri lagi. Pembangunan infrastruktur secara masif oleh pemerintah adalah salah satu manifestasinya. "Pelabuhan dan bandar udara yang saat ini sedang dalam proses pembangunan, kelak akan menjadi simpul-simpul penggerak barang di seluruh tanah air", begitu yang disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Alumni, dan Komunikasi (WRAAK), Dr. Miming Miharja, saat membuka Seminar on Logistics Challenges: , di Gedung Center for Research and Community Services (CRCS) Institut Teknologi Bandung (ITB), pada hari Rabu, 31 Januari 2017.
Namun performansi logistik di Indonesia masih rendah, terlihat dari ukuran logistics performance index (LPI) yang tidak beranjak dari peringkat ke-63 pada tahun 2016. "Bahkan kita masih kalah jauh dibanding Thailand, Malaysia, dan Singapura yang berada di posisi 45, 32, dan 5," ujar Dr. Miming.
Untuk itu, ITB melalui Fakultas Teknologi Industri (FTI) menjalin kerjasama dengan dengan Shipping and Transport College (STC), Belanda dengan disponsori oleh Nuffic Belanda. Kerjasama ini sudah lama dijalin antara ITB dan STC untuk mendukung percepatan pengembangan sistem logistik di tanah air. Seminar yang diselenggarakan oleh dosen dan asisten Laboratorium Perencanaan dan Optimisasi Sistem Industri (LPOSI) itu, merupakan bagian dari kerjasama tersebut.
Dr. Yosi Agustina Hidayat, ketua panitia seminar ini, mengatakan bahwa pengembangan logistik secara intensif harus melibatkan tiga pihak, yaitu profesional, pemerintah, dan perguruan tinggi. Ketiga tarikan itulah yang disajikan dalam acara ini. Profesional diwakili oleh pelaku usaha di bisnis ini, yang tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan pemerintah selaku regulator yang mengatur permasalahan tenaga kerja. Sebagai pengaitnya, perguruan tinggi harus menyiapkan sumber daya manusia yang unggul melalui pengembangan kurikulum dan pendidikan di bidang logistik.
Peran perempuan dan otomasi
Sesi pertama seminar diisi oleh tiga perempuan yang telah banyak berkecimpung di bidang logistik. Terkait tenaga kerja, sorotan utama di seminar ini adalah kesetaraan gender. Albert Bos dari STC dalam pidato pembukaannya menuturkan bahwa pekerja perempuan di bidang logistik dibayar dua puluh persen lebih rendah dibandingkan dengan rekan sejawatnya dari golongan lelaki. Dalam kehidupan bermasyarakat yang modern saat ini, hal ini sungguh mengherankan. Faktor utama yang menjadi penentu keberhasilan karir seharusnya adalah kemampuan profesional semata, tanpa adanya diskriminasi jenis kelamin.
Pada giliran pertama, Eka Lorena Sari Surbakti memaparkan bahwa memang betul bahwa logistik adalah dunia usaha yang identik dengan kaum adam. Saat menjadi pemimpin dari Organisasi Angkutan Darat (Organda), perempuan yang aktif di organisasi tersebut hanyalah segelintir. Eka, yang juga merupakan seorang pebisnis sukses di bidang transportasi dan kargo menambahkan, minimnya jumlah perempuan yang terlibat tidak lepas dari citra logistik yang maskulin. Menurut istilahnya, banyak yang beranggapan bahwa yang diperlukan di logistik adalah 'orang-orang yang berkulit tebal'. Secara tidak langsung hal ini membatasi ketertarikan perempuan untuk berkarir di bidang ini.
Padahal, menurutnya perempuan memiliki keunggulan kompetitif yang natural, salah satunya adalah perhatian yang lebih terhadap detail. Pendapat yang sama disampaikan oleh Lamiaa Bennis dari World Bank. Perempuan yang telah memiliki banyak pengalaman ini memiliki keyakinan bahwa dalam hal komunikasi, kaum hawa lebih persuasif dibandingkan para pria. Mengingat logistik adalah bidang usaha yang melibatkan banyak pihak, keterampilan ini sangatlah bernilai tinggi. Mengingat pekerja perempuan di bidang logistik Indonesia tidak sampai 15%, peluang masih terbuka lebar.
Hafida Fahmiasari pun memiliki pandangan yang serupa. Di usianya yang masih muda, pemilik gelar master dari TU Delft ini acap kali hanya menemukan dirinya sebagai satu-satunya perempuan dalam berbagai proyek pengembangan pelabuhan yang pernah ia tangani. Padahal, seharusnya jenis kelamin tidak memiliki pengaruh di dalam kinerja pekerja di bidang logistik. Hafida menuturkan bahwa selain komunikasi, keterampilan yang diperlukan untuk sukses di logistik adalah kemampuan menulis.
Sejalan dengan sesi pertama, Rene Meeuws dari STC menuturkan bahwa pengembangan tenaga kerja logistik di tanah air mutlak diperlukan. Logistik adalah bidang yang begitu cepat berkembang, namun kemampuan para pekerja Indonesia masih rendah, terutama terkait dalam hal analisis dan pemecahan masalah. Menurut penaksirannya, tidak kurang dari dua puluh ribu operator dan penyelia dibutuhkan di industri ini, namun kapasitas perguruan tinggi dalam menghasilkan tenaga kerja berkualitas masih terlalu kecil.
Selain memang karena belum banyak perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan di bidang logistik, animo lulusan sekolah menengah pun belum terlalu tinggi, kemungkinan terkait dengan kesan logistik sebagai pekerjaan repetitif dan membosankan. Oleh karena itu, otomasi diperlukan untuk lebih menarik minat calon-calon SDM terbaik. Sebagai contoh, saat teknologi transportasi diperkenalkan di Eropa, supir-supir perempuan jumlahnya bertambah cukup signifikan. Dengan bertambahnya supir perempuan, supir-supir lelaki mengambil banyak hal positif dari koleganya itu. Di antaranya adalah pendekatan yang lebih sopan dalam berinteraksi dengan pelanggan.
Dukungan perguruan tinggi
Pengembangan logistik tidak akan tuntas tanpa peran dari perguruan tinggi. Sudut pandang ini didiskusikan dalam sesi terakhir yang diisi oleh Andi Cakravastia dan Tarkan Tan. Keduanya adalah associate professor, dari ITB dan TU Eindhoven.
Andi berpendapat bahwa pendidikan tinggi logistik di Indonesia tidak boleh lepas dari batang tubuh pengetahuan (body of knowlege) logistik yang dapat diambil dari berbagai institusi internasional, salah satunya adalah Logistics Management Council. Untuk bisa menghasilkan lulusan yang unggul, mahasiswa harus memiliki kemampuan dasar yang di bidang statistika, matematika dan analisis data. Mengingat saat ini bidang logistik tidak lepas dari teknologi daring, mata kuliah yang terkait dengan sistem dan teknologi informasi tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan Tarkan lebih menyoroti masalah penyelenggaran kuliah. Dosen yang dua kali terpilih sebagai pengajar terbaik di kampusnya itu menyoroti bahwa mahasiswa harus selalu ditantang, sehingga ketertarikan akan muncul dengan sendirinya. Sebagai contoh, di TU Eindhoven, mahasiswa didorong untuk mengambil pertukaran kuliah dengan kampus di luar negeri. Selain itu, kemampuan riset mahasiswa amat dijaga. Mahasiswa diharapkan untuk membuat kontak dengan industri sejak awal masa perkuliahannya, sehingga pertanyaan penelitian sudah terdefinisi dengan baik saat mulai mengerjakan tesis.
Kiriman Berita : Dr. Yosi Agustina Hidayat