Seminar Sehari : Mengingat Sejarah Bandung
Oleh kristiono
Editor kristiono
Bandung, itb.ac.id - Kamis (28/02), bertempat di Aula Timur, Himpunan Mahasiswa Teknik Planologi menyelenggarakan seminar bertajuk “Remembering History for our Precious Bandung”. Seminar yang merupakan rangkaian acara Planosphere5 ini dihadiri oleh akademisi Prof Budhy Tjahjati S Soegijoko, pengamat Kota Bandung Frances B. Affandy, dan Direktur Penataan Ruang Nasional, Iman Soedrajat.
Frances yang juga merupakan Ketua Komite Nasional Indonesia pada Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs Bersejarah (ICOMOS) antara lain mengungkapkan cikal bakal regulasi pelestarian monumen dalam kitab perundang-undangan Indonesia. Menurut Frances Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang perlindungan cagar budaya merupakan pengembangan dari peraturan serupa buatan Belanda, Monumenten Ordinante tahun 1931. Monumenten Ordinante merupakan undang-undang pelestarian kawasan bersejarah pertama yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Semasa itu, lahirnya undang-undang ini merupakan terobosan komprehensif. Pada tahun 1992, produk hukum Belanda ini, dengan sedikit penambahan, disahkan oleh pemerintah Indonesia menjadi Undang-undang No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, satu-satunya regulasi yang mengatur pelestarian cagar budaya di Indonesia.
Hanya saja, menurut Frances, Monument Ordinante pada dasarnya diberlakukan untuk melindungi situs-situs arkeologi. Jadi materi UU No. 5 Tahun 1992 boleh dikatakan belum akomodatif terhadap upaya pelestarian bangunan tua yang bukan termasuk situs arkeologi. Hal ini dikarenakan konsep zonasi dan kawasan yang dikenal lebih cenderung merujuk pada pelestarian situs arkeologi, sehingga cukup sulit diimplementasikan dalam konteks kota yang tumbuh pesat dan sangat dinamis seperti Bandung.
Demikian komentar Frances, Direktur Eksekutif Panguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage). Bandung Heritage merupakan organisasi sosial yang sudah memulai inventarisasi monumen-monumen bersejarah di Kota Bandung sejak tahun 1982. Beberapa tempat yang tergolong patut dilestarikan diantaranya berupa ‘kawasan’, yang meliputi Gempol, Jalan Pager Gunung, Jalan Gudang Selatan, ‘konstelasi kota’ seperti distrik militer, DAS Cikapundung, dan Braga. Sementara itu, komplek Kampus ITB bersama dengan Gedung Sate perlu dilestarikan untuk mempertahankan fungsi sebagai distrik Kota Taman (Garden City District).
Prof Budhi, Direktur (Sr) Eksekutif Institut Pengembangan Wilayah dan Kota (URDI) dalam kesempatan ini memaparkan presentasinya yang berjudul “Perencanaan Pengelolaan Kawasan Bersejarah Bagi Pembangunan Kota Berkelanjutan”. Menurut Prof Budhi, keberlanjutan kota bukan semata-mata dicirikan dengan kelestarian lingkungan ekologis akan tetapi juga keberlanjutan ekonomi, dan sosial budaya penduduk/penghuninya. Tantangannya, lanjut Prof Budhi, adalah bagaimana pengelolaan kawasan bersejarah dapat merupakan bagian dari rencana pengembangan kota berkelanjutan. Selama ini konservasi kawasan budaya/bersejarah selalu dipertentangkan dengan upaya-upaya pembangunan kota yang lebih berorientasi komersial.
Selanjutnya Budhi, mengutip prinsip-prinsip pengelolaan kawasan bersejarah sebagaimana didefinisikan ICOMOS (International Council on Monuments and Sites), menekankan pelestarian cagar budaya agar disesuaikan dengan pengaturan kota (urban setting). Harus dipahami bahwa warisan pusaka bukan hanya meliputi bangunan tunggal tapi kelompok bangunan urban, agar dapat mendukung kekuatan kehidupan urban yang dinamis.
Perlu ditekankan, upaya konservasi sejarah seyogyanya bukan hanya sebagai alat pengawasan pembangunan namun harus diperlakukan justru sebagai faktor penentu arah pembangunan itu sendiri. Intinya, konservasi kawasan bersejarah perlu mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, penentuan tingkat kepentingan tujuan konservasi perlu diintergrasikan dengan tujuan pengembangan sosial, ekonomi dan budaya.