Seminar Shortclass Migas: Kupas Isu Nasionalisasi Aset Migas Indonesia

Oleh Fatimah Larassati

Editor Fatimah Larassati

BANDUNG, itb. ac.id - Isu energi seakan tak ada habisnya menjadi topik hangat untuk dibicarakan, salah satunya terkait dengan nasionalisasi migas Indonesia. Seminar Shortclass Migas yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan (HMTM) PATRA ITB pada Sabtu (10/10/15) di Gedung Kuliah Umum (GKU) Timur ITB ini mengupas isu mengenai nasionalisasi blok-blok migas Indonesia. Seminar kali ini turut mengundang tiga pembicara utama yaitu  Dirjen Migas Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dr. Ir. I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja, Dr. Ir. Salis S. Aprilian, M.Sc., selaku CEO PT. Badak NGL, dan mantan Kepala Divisi Pertimbangan Hukum dan Formalitas SKK Migas, Didi Setiarto, S.H.

Hasrat untuk menasionalisasikan aset-aset migas negara semakin menggebu akibat adanya kontrak blok-blok migas yang akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan. Di satu sisi, berakhirnya kontrak asing dianggap sebagai kesempatan bagi pemerintah untuk segera mengambil alih secara penuh blok-blok migas tersebut. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar bagi Indonesia: nasionalisasi seperti apa yang akan direalisasikan?


Menjawab pertanyaan tersebut, Wiratmaja mengungkapkan bahwa nasionalisasi yang ingin dicapai Indonesia adalah melalui optimalisasi dari kekayaan yang Indonesia miliki saat ini ditambah dengan penemuan-penemuan baru di bidang migas. Penekanan ini berangkat dari kenyataan bahwa Wilayah Kerja (WK) eksplorasi migas memang tersebar di Indonesia, namun jumlah WK yang telah produksi relatif sedikit. Jika pun ada, WK tersebut masih terpusat di daerah Jawa, Sumatera, dan sebagian kecil Kalimantan. Sedangkan banyak WK di wilayah timur Indonesia potensinya sangat besar namun belum terjamah. Kondisi demikian dipandang sebagai tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam memulai langkah nasionalisasinya. Lebih lanjut beliau menambahkan, tantangan ini dapat diatasi jika semua aspek dan pihak mendukung. Pembangunan infrastruktur seperti kilang BBM dan gas, pipeline, atau regasifikasi terutama di wilayah Indonesia timur digiatkan. Segala bentuk regulasi di Indonesia sedemikian rupa disusun agar mampu mendorong perkembangan migas di Indonesia, bukan malah sebaliknya. Pertamina Persero juga diprioritaskan sebagai pemain utama dalam migas Indonesia serta industri penunjang seperti jasa kontraktor juga diharapkan berasal dari lokal.


Akan tetapi, diakui bahwa nasionalisasi blok-blok migas Indonesia kenyataannya tidaklah semudah yang dibayangkan. Kedua pembicara berikutnya yaitu Dr. Salis dan Didi Setiarto menegaskan bahwa banyak hal dijadikan pertimbangan seperti masalah kapasitas dan kesiapan pribadi Indonesia terutama dalam masalah pendanaan untuk eksplorasi dan pembangunan infrastruktur. Pendapat bahwa nasionalisasi migas di Indonesia bukan berarti harus seratus persen anti asing juga diamini oleh ketiga narasumber. Justru yang harus dilakukan dari nasionalisasi ini adalah Indonesia dapat memosisikan diri sebagai pemegang wewenang tertinggi atas blok-blok migas tersebut. "Nasionalisasi di Indonesia bukan seperti Venezuela, tetapi bagaimana kapasitas nasional Indonesia berperan besar dalam pengelolaan blok-blok migas tersebut," tutup Didi.