Serba-serbi Seni di Ruang Publik

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id--Diskusi karya seni di ruang publik secara menarik dikupas dalam acara pameran seni rupa bertajuk “Poros”, Kamis (26/8/2021) oleh Galeri Nasional Indonesia. Acara ini dihadiri oleh beberapa kurator pameran seperti, Suwarno Wisetrotomo, Asikin Hasan, dan Rizki A. Zaelani. Pengajar FSRD ITB Budi Adi Nugroho juga berkesempatan untuk ikut andil dalam diskusi tersebut.

Ruang publik adalah ruang terbuka, semi terutup, dan tertutup yang dapat diakses publik seminimal mungkin. Karya seni di ruang publik adalah karya seni yang menggunakan beragam jenis material yang sejak awal dirancang dan ditempatkan di luar ruang pamer (galeri dan museum).

Karya seni yang sering kita lihat di ruang publik adalah patung. Suwarno Wisetrotomo mencoba mengungkap persoalan yang ada di balik keindahan monumen dan patung yang sering dijumpai tersebut.

Patung dirgantara atau kerap disebut patung pancoran hadir atas kebijakan Presiden RI pertama Ir. Soekarno di tengah situasi negara saat itu yang sulit. Walaupun demikian, dia ingin menghadirkannya sebagai penanda tempat dan membuktikan keberadaan diri dalam gelanggang dunia yang luas melalui karya seni. Melihat monumen ini merepresentasikan kebangsaan/semangat/kejelataan rakyat indonesia zaman dulu.

*Di sebelah kanan gambar merupakan patung Jenderal Soedirman karya Hendra Gunawan di Jalan Malioboro yang diciptakan sebagai karya seni bukan sebagai monumen. Sedangkan sebelah kiri adalah Patung Jenderal Soedirman karya Sunaryo di Jalan Thamrin yang dihasratkan sebagai monumen.

“Tidak semua karya seni rupa di ruang publik memliki pertautan dengan sejarah nasional. Tetapi aspek kepublikan itu penting diperhatikan, setidaknya terdapat aspek “partisipasi warga negara” dalam ikut menandai suatu ruang publik,” jelas Suwarno.

Melanjutkan Suwarno, Kurator Pameran Asikin Hasan mencoba menjelaskan sisi positif dari persoalan di balik karya seni ruang publik. Sepanjang 60 tahun pembuatan monumen di Indonesia, seringkali dijumpai kontroversi, perbedaan pendapat, dan perdebatan. Tetapi menurutnya, di satu sisi menarik karena ruang publik itu sebagai ruang terjadinya demokratisasi, setiap orang bisa berpendapat.

Pemaparan ketiga dilanjutkan oleh Rizki A. Zaelani atau kerap dipanggil Kiki. Dalam kesempatan itu, Kiki membahas penafsiran karya seni di ruang publik dari sisi pengamat atau audiensi. Menurutnya, arti “publik” sekarang berarti bukan hanya pengamat/audiensi yang dapat menikmati karya seni dari satu sisi saja, tetapi juga viewer yang bisa melihat karya seni dari berbagai arah berkat keberadaan teknologi.

Dalam pameran poros, dia dan tim membuat replika/model dari patung Pak Tani yang mengambil sisi wanitanya dan direka ulang secara bentuk. Dikerjakan dengan teknik digital scapting dengan komputer sehingga menjadi patung dalam data digital. Kemudian diproduksi menjadi patung model dengan teknik cetakan 3D oleh Kurator Pameran hebat Nus Salomo.

Menurut Kiki, berbagai persoalan yang muncul di balik karya seni di ruang publik merupakan hal biasa dalam aktivitas manusia. Ketika suatu karya dibentuk oleh ide seniman ditempatkan di ruang publik maka akan mengikat satu kesatuan narasi. Hal inilah yg disebut monumen.

“Patung mengajarkan kita secara diam-diam bagaimana kita menghadapi perbedaan dan konflik yang dapat kita jalani karena kita melakukan eksperimentasi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga perbedaan dan konflik menjadi monumen kehidupan,” ujar Kiki.

Budi Adi Nugroho, staf pengajar studio patung FSRD ITB turut memberikan opininya dalam diskusi tersebut. Pada kesempatannya, Adi membahas tentang hal-hal yang terjadi pada perkembangan karya seni di ruang publik di masa depan dan membaginya menjadi tiga sudut pandang. Pertama, kepentingan politik dan otonomi daerah. Kedua, material monumental dan material temporer, dan ketiga ruang fisik dan ruang maya.

Dahulu, katanya, tidak pernah terlintas di benak untuk menikmati karya seni secara virtual seperti saat ini. Akan tetapi, kondisi yang serba dinamis menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Terlebih dalam seni tidak ada yg tidak mungkin. Kini, hanya teknologi lah yang bisa menjadi perantara antara kita sebagai pengamat dan seni sebagai objek yang kita amati.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)