Diskursus Seni Grafis Indonesia : Reinterpretasi dan Reposisi Seni Grafis pada Konstelasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Keluarga Grafis Bersama (KGB) studio seni grafis Seni Murni ITB selama dua hari berturut-turut - 15/16 Februari yang lalu menggelar seminar "Seni Grafis Indonesia, Wacana dan Praktiknya".
Dalam seminar ini, diundang beberapa tokoh pegrafis terkemuka, untuk mendiskusikan topik-topik seputar seni grafis, seperti Guru Besar Seni Rupa ITB, Prof. Abdul Djalil Pirous, Setiawan Sabana, Enin Supriyanto dan Drs. Tisna Sanjaya.
Pada sesi pertama diperbincangkankan topik mengenai redefinisi seni grafis Indonesia. Pembicara Aminudin TH Siregar, yang akrab dipanggil Ucok, menyebutkan bahwa seni grafis, yang merupakan produk kolonialisme barat, kini harus mereposisi diri menyambut perkembangan teknologi. Seni grafis konvensional, yang dibangun atas dasar 4 teknik pencetakan tradisional - relief(nukilan), intaglio, planografi(lithografi) dan senigrafi(sablon), baginya harus membuka jalan bagi media-media baru: pencetakan digital, fotografi, animasi, seni video, dan seni web. Ia juga mengusulkan supaya studio seni grafis mentransformasikan dirinya menjadi studio seni multimedia, dengan printmaking sebagai salah satu majornya saja. Sementara Agung Hujatnikajennong, alumni seni grafis yang juga aktif menulis di surat kabar, menjawab kegelisahan beberapa mahasiswa seni grafis yang merasa bahwa mungkin istilah seni grafis dapat dihilangkan saja - bahwa batasan seni grafis memang perlu diperluas dan pasar seni grafis perlu ditumbuhkan, tapi bukan berarti cabang seni ini dapat dihapuskan begitu saja.
Sesi kedua diisi dengan perbincangan mengenai sejarah panjang seni gafis Indonesia sejak tahun 1960an, dengan pembicara Prof. A.D. Pirous dan Setiawan Sabana. Di dalam diskusinya, para pembicara juga banyak bercerita mengenai jatuh bangun seni grafis sejak saat mereka masih kuliah hingga sekarang, dan tentang pengalaman mereka kuliah dan berpameran di luar negeri, serta prospeknya di masa mendatang.
Hari kedua seminar diawali dengan tema tentang memetakan medan sosial seni grafis Indonesia, dengan pembicara Enin Supriyanto dan Dr. Dwi Marianto, direktur program pascasarjana ISI Yogyakarta. Enin mengamati bahwa penidikan seni sekarang semakin bersifat keahlian, bukan kreasi. Karena itu, ia menyebutkan, eksperimentasi perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pengajaran. Ia juga menyebutkan bahwa perkembangan media yang sekarang masih menjadikan teknologi sekedar sebagai alat, belum menjadi bagian yang utuh dari seni itu sendiri.
Sebagai penutup seminar, sesi terakhir ditemai praktek seni grafis dalam seni rupa kontemporer. Drs Tisna Sanjaya, dosen seni rupa ITB yang persengketaannya dengan dispol PP masih terus berjalan, menampilkan karya-karya terdahulunya yang rupanya sudah melepaskan diri dari konvensi-konvensi pencetakan tradisional, seperti melabur jengkol di jalan untuk memprotes pembangunan jembatan layang Pasopati. Pembicara kedua, Agung Kurniawan, seorang pegrafis dari Yogyakarta, mengusulkan pembentukan sebuah subkultur grafis sebagai jawaban terhadap kebuntuan dan rasa rendah diri seni grafis Indonesia. Ia bercerita tentang zaman kuliahnya dulu, ketika kuliah di seni grafis ISI Yogyakarta, ia dan teman-temannya harus mencuri logam tembaga untuk mengetsa yang mahal dan akhirnya malah menemukan harta karun penyimpanan karya-karya pendahulunya, yang kondisinya menyedihkan. Ia merasa bahwa seni grafis tidak akan pernah menjadi seni rupa mainstream, maka satu-satunya harapan mereka untuk berkembang adalah dengan membangun dunia mereka sendiri, seperti komunitas vegetarian atau punk. Diskusi berlangsung dengan suasana yang segar, diselingi saling melempar candaan tentang berbagai hal, mulai dari kuliah hingga hal-hal religius, antara kedua pembicara yang latar belakangnya memang jauh berbeda.
Di samping seminar, digelar juga open studio seni grafis ITB, demo teknik cetak lithografi, dan bazart grafis mini.
ronny hendrawan