Socialicity, Pamerkan Karya Solusi Bagi Permasalahan Kota
Oleh Luh Komang Wijayanti Kusumastuti
Editor Luh Komang Wijayanti Kusumastuti
Socialicity diadakan untuk mewadahi mahasiswa dalam mengimplementasikan ilmunya masing-masing dalam memecahkan permasalahan keseharian kota. Isu yang diangkat kali ini adalah mengenai Smart City atau Kota Cerdas. Kota tidaklah akan cerdas tanpa penduduknya yang juga cerdas (Smart People). Penduduk maupun pemerintah yang menggunakan sumberdaya kotanya secara inovatif dan kreatif dalam menyelesaikan permasalahan kota serta dengan dukungan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), maka kota tersebut dapat dikatakan kota cerdas.
Dalam Socialicity, dipamerkan 47 karya yang berasal dari kelopok-kelompok peserta kuliah. Karya yang dihasilkan dapat berupa produk maupun kampanye. Penilaian dilakukan berdasarkan ide, konsep, proposal, serta tampilan presentasi karya dari tiap kelompok. Beragam karya yang inovatif ditampilkan seperti toilet kuda untuk mengatasi Jalan Ganesha yang digunakan sebagai kawasan wisata berkuda, kampanye 'Long Live Lung' untuk menyadarkan perokok pasif agar lebih berani untuk menyatakan ketidaknyamannnya, 'Saempah' sebuah laman untuk mengajak masyarakat mengolah sampah secara kreatif, dan masih banyak karya kreatif lainnya.
Kota Cerdas Perlu Masyarakat Cerdas
Dalam sesi talkshow, Arry menjelaskan bahwa banyak pengertian dari sebuah label Smart City. Sebagain besar menyebutkan mengenaik keterkaitannya dengan TIK. "Apakah harus ada TIKnya? Kata kuncinya adalah Smart Solution (Solusi Cerdas)," ungkap Ketua Program Studi STI ini. Solusi cerdas dalam kota cerdas adalah untuk menyelesaikan permasalahan kota seperti penduduk, pendidikan, energi, lingkungan, kemacetan, dan permasalahan kota lainnya. Arry menyatakan bahwa tidak harus dengan TIK, namun TIK bisa menjadi penyedia dalam membuat solusi cerdas tersebut. Contohnya dalam menyetarakan kualitas pendidikan, dapat disediakan video streaming dengan guru terbaik di bidangnya yang memberi materi ajar. Di Kota Bandung juga telah dibangun Bandung Command Center yaitu penggunaan TIK untuk mengetahui situasi kota dengan cepat sehingga dapat menghemat waktu.
Arry juga membandingkan dengan kota-kota yang sudah layak dilabelkan dengan Smart City. Misalnya Amsterdam yang memiliki inisiatif-inisiatif dalam manajemen transportasi yaitu dengan membuat sistem peminjaman mobil sehingga dapat menghemat energi dan mengurangi kemacetan. Namun, ada juga beberapa kota yang sudah menerapkan TIK tetapi tidak memberikan kemudahan bagi penduduknya. Kota tersebut belum bisa dikatakan sebagai kota yang cerdas. "TIK bukan jaminan, harus disertakan dengan sistem yang terintegrasi," jelasnya.
Komponen utama dalam kota cerdas, dijelaskan oleh Arry, adalah manusia, manajemen dan tata kelola, serta teknologi dan infrastruktur. Tanpa ketiga hal tersebut, tidak akan terwujud kota yang cerdas. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dhimas dalam pemaparannya. Sumber daya manusia sebagai pengguna maupun penyedia TIK harus siap terhadap perkembangannya. Menurut Dhimas,
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah adanya digital divide yaitu jarak yang lebar antara pengguna TIK dan yang tidak menggunakannya. Hal tersebut diakibatkan pula oleh kesenjangan ekonomi. Kesenjangan tersebut semakin tahun semakin melebar yang menyebabkan pula semakin tidak siapnya dalam mewujudkan kota cerdas.
Label Smart City, bagi Dhimas belum tentu solusi yang paling tepat. Kota maupun wilayah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan permasalahan yang juga berbeda. "Kita harus memahami kebutuhan masyarakat. Tidak harus menerapkan label yang ada dalam tren," Dhimas mengunggkapkan.