Sosialisasi Dark Sky Preservation dan Pengamatan Hilal

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Peneliti di Observatorium Bosscha Muhammad Yusuf sedang melakukan pengamatan kemunculan bulan baru atau hilal di Bosscha, Lembang. Namun karena cuaca kurang baik, hilal tidak dapat terlihat. (Foto: Humas ITB)

LEMBANG, itb.ac.id – Pengamatan hilal dan sosialisasi “Dark Sky Preservation” menjadi topik yang diangkat dalam sarasehan yang diselenggarakan oleh Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB), di Wisma Kerkhoven Komplek Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (7/3/2019). Acara yang dilaksanakan bersama dengan Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB ini sekaligus dalam rangka memperingati dan memeriahkan Dies Natalis ITB yang ke-60.


Kepala Observatorium Bosscha Premana W. Premadi, Ph. D., menyampaikan bahwa sarasehan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait pengamatan hilal secara khusus, dan astronomi pada umumnya. Disampaikan pula tentang sosialisasi pentingnya langit gelap dalam pengamatan yang dilaksanakan di sekitar observatorium Bosscha. Maka dari itu, hadir pula para pemangku kepentingan mulai dari LAPAN, Kementerian Agama RI, Imah Noong, SESKO-AU, KOWAD, SESPIMPOL, Kepala Desa Lembang, Kepala Desa Gudangkahuripan, dan Camat Lembang.

Dalam acara ini, juga diundang para awak media baik dari media cetak, online, televisi, dan radio sebagai komunikator sains yang dapat menyebarluaskan informasi mengenai dark sky dan kondisi pengamatan hilal saat ini. “Tujuan kegiatan ini ialah meningkatkan kerjasama antara Observatorium Bosscha sebagai institusi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan rekan-rekan media sebagai komunikator masyarakat,” kata Premana.

Saat melakukan pengamatan, para peneliti di Bosscha memerlukan kondisi langit yang gelap tanpa polusi cahaya. Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Bosscha ialah sosialisasi mengenai penggunaan tudung lampu agar cahaya dari lampu tidak menyebar kemana-mana. Selain untuk kepentingan penelitian, preservasi terhadap langit gelap juga diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam. "Kelelawar dan makhluk lainnya juga dapat turut terganggu akibat polusi cahaya ini," tambahnya.

Saat acara sarasehan, Bosscha membagikan selebaran infografis tentang langit gelap, dan membagikan pembatas buku dengan gambar latar langit berbintang yang diambil langsung di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Para tamu yang hadir saat itu juga ditunjuk menjadi Duta Langit Berbintang untuk mempertahankan keberadaan bintang yang dapat kita lihat dengan mata telanjang tanpa polusi cahaya.

Pengamatan Hilal Rajab 1440 H

Dalam acara ini juga dilaksanakan pengamatan hilal bulan Rajab 1440 H di kompleks Observatorium Bosscha menggunakan teleskop. Pengamatan dilakukan pukul 18.06 WIB saat matahari tenggelam dan bulan baru (hilal) akan diamati terbenam 37 menit setelah (menyusul) matahari. Namun kondisi langit sedang mendung sehingga pengamatan hilal sulit dilakukan. Para peserta yang ikut dalam pengamatan diberi penjelasan mengenai posisi bulan dan matari (elongasi), sudur azimuth dan ketinggian bulan.



Menurut Muhammad Yusuf, peneliti di Bosscha, pengamatan hilal memang tidak mudah dilakukan. Bahkan selama ia mengamati hilal sejak 2008 hingga sekarang, belum pernah melihat hilal dengan mata telanjang. Artinya, pengamatan hilal sulit dilakukan tanpa bantuan teleskop.

Kesulitan yang dihadapi tersebut di antaranya karena masalah kontras, sebab hilal itu sangat tipis sekali dan muncul di kala cahaya matahari yang terlalu kontras. “Cahaya matahari itu 401.000 kali lebih kuat dari cahaya bulan,” ungkap Yusuf.

Dia menjelaskan bahwa, atmosfer bumi bukanlah benda yang kosong. Melainkan berisi partikel-partikel yang dapat menyebarkan cahaya. Sehingga cahaya dari benda yang jauh akan terhalang oleh partikel tersebut. Selain itu, masalah geometri antara bulan, bumi dan matahari juga sangat menentukan. Jika ketinggian hilal di bawah dua derajat, sangat sulit untuk diamati. 



Untuk itu kata Yusuf, diperlukan alat bantu teleskop dalam mengamati hilal. Teleskop sendiri harus memiliki kualitas yang tinggi dengan diameter tidak terlalu besar dan kecil, kombinasi panjang, fokus dan ukuran sensor yang tepat. Kameranya pun perlu memiliki resolusi tinggi, frame rate tinggi, lensa monokrom dan datanya digital tanpa kompresi.

“Jadi dalam melakukan pengamatan, proses persiapan sangat penting, baik persiapan dalam menentukan lokasi yang tepat, tidak ada kabut/polusi udara, ketinggian, dan waktu pengamatan hilal,” ujarnya sambil memperlihatkan beberapa gambar hasil pengamatan hilal di Kupang, NTT. Pada kesempatan tersebut, juga hadir memberikan materi ialah Dr.  Moedji Raharto, dengan tema Filosofi Hilal dan Pentingnya Pengamatan Hilal yang Berkualitas.

Reporter: Moch. Akbar Selamat (Manajemen 2020)