Studium Generale ITB: DAS Sebagai Penyangga Resiliensi Wilayah yang Berkelanjutan

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita

Dok. Humas ITB/M.Naufal Hafizh

BANDUNG, itb.ac.id — Institut Teknologi Bandung kembali menggelar Kuliah Studium Generale dari Aula Barat, ITB Kampus Ganesha, pada Rabu (13/3/2024). Acara tersebut menghadirkan anggota Tim Ahli Satgas PPK DAS Citarum, Taufan Suranto, sebagai pembicara.

Adapun topik kuliah yang dibawakan yaitu “Pemulihan DAS Menuju Resiliensi Berkelanjutan di Jawa Barat”.

Mengawali pemaparannya, Taufan menjelaskan bahwa Provinsi Jawa Barat menempati urutan ke-3 sebagai provinsi dengan lahan kritis terluas di Indonesia. Namun jika ditinjau dari proporsi lahan kritis terhadap total luas lahan, posisinya bergeser menjadi yang pertama.

Faktor utama yang menyebabkan lahan menjadi kritis adalah pola pembangunan yang terus merangsek ke kawasan lindung sejak tahun 1990-an. Tren ini kemudian juga berpengaruh pada kondisi kebencanaan di wilayah Jawa Barat.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun mencatat indeks risiko bencana Jawa Barat menjadi yang tertinggi di Indonesia hingga sekarang.

“Kawasan hutan yang berubah fungsi menjadi kawasan terbuka, khususnya pada masa setelah reformasi, turut berakibat pada meningkatnya lahan kritis di Jawa Barat,” ungkapnya.

Merespons hal ini, pemerintah menyediakan kerangka kerja baru dalam pembangunan yang dikembangkan menurut resiliensi berkelanjutan. Resiliensi sendiri diartikan sebagai kemampuan suatu sistem untuk kembali ke kondisi semula setelah adanya tekanan/gangguan.

Provinsi Jawa Barat sebenarnya sudah memiliki arah kebijakan resiliensi berkelanjutan sejak tahun 2020 yang disebut Jabar Resilience Culture Province. Terdapat enam poin resiliensi dalam kebijakan ini, yaitu resiliensi penduduk, IPTEK, infrastruktur, institusi dan kebijakan, ekologi, serta pembiayaan.

Jabar Resilience Culture Province dikembangkan dari kearifan lokal sebagai hasil interaksi masyarakat Jawa Barat dengan paparan bencana selama ribuan tahun. Kearifan lokal tersebut telah menjadi prinsip dan pedoman masyarakat dalam memanfaatkan ruang di sekitarnya, yang terdiri dari tata wilayah, tata wayah, tata lampah.

Lebih lanjut, pedoman tersebut berarti melakukan sesuatu (lampah) yang tepat pada tempat (wilayah) dan waktu (wayah) yang sesuai. Dengan berpedoman pada tiga prinsip ini, diharapkan risiko bencana akibat aktivitas manusia dapat ditekan seminimal mungkin.

Dok. Humas ITB/M. Naufal Hafizh

"Artinya, local wisdom itu sebenarnya Tri Tangtu yang terdiri dari 3 tadi. Doing the right thing at the right place and the right time, bukan sebaliknya,” tutur Taufan.

Untuk mendukung upaya tersebut, Taufan menjelaskan bahwa salah satunya dilakukan melalui pengelolaan wilayah berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Peran DAS menjadi penting untuk mengendalikan eksposur bencana hidrometeorologi terhadap aktivitas masyarakat di sekitarnya.

DAS yang terkelola dengan baik akan mampu melindungi wilayah cakupannya dari bencana hidrometeorologi, begitupun sebaliknya. Contoh yang paling dekat adalah banjir tahunan di wilayah Cekungan Bandung karena pengelolaan DAS Citarum Hulu yang belum optimal.

Berbagai upaya telah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu, namun belum juga memperlihatkan hasil yang signifikan.

“Kalau DAS bagus, ketika musim hujan air tidak akan jadi banjir karena ada hutan yang menampung. Begitu pula musim kemarau tidak akan jadi kering kerontang karena ada retensi. Tapi sekarang itu yang terjadi neraca airnya jomplang,” tambahnya.

Oleh karena itu, menurut Taufan, pengelolaan DAS harus dimulai dari unit terkecil dalam sistem hidrologi yaitu mikro DAS. Cara ini merupakan pendekatan lama yang belum pernah diimplementasikan secara utuh. Pengelolaan yang dimulai dari mikro DAS diprediksi akan memberikan dampak signifikan pada pengelolaan seluruh DAS apabila dilakukan secara simultan dan terintegrasi. Hal tersebut sudah dibuktikan oleh banyak negara di Amerika Latin, India, hingga Selandia Baru.

Pemulihan DAS dari unit mikro DAS dilakukan melalui konservasi air untuk memperbaiki keseimbangan neraca air dalam mikro DAS itu sendiri. Beberapa upaya yang dapat dilakukan di antaranya adalah melalui penanaman pohon, persawahan terasering, dan perlindungan kawasan lindung. Upaya untuk menyeimbangkan neraca air dalam DAS perlu waktu puluhan tahun, namun keberhasilannya menjanjikan berbagai manfaat bagi aktivitas manusia.

Selain itu, langkah ini juga membutuhkan partisipasi dan kerja sama multiaktor seperti dalam model pentahelix, yang turut melibatkan masyarakat, pemerintah, akademisi, swasta, dan media.

“Ini tantangan sebenarnya, bagaimana teman-teman di kampus, terutama ITB, bisa mengembangkan konsep itu. Supaya kita bisa punya early warning system, punya skema neraca air yang lebih bagus ke depannya,” ujar Taufan di akhir sesi pemaparan.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)