Tanggap Darurat Gempa, KM ITB Kirim Relawan ke Pangalengan
Oleh prita
Editor prita
BANDUNG, itb.ac.id - Gempa berkekuatan 7,3 skala richter yang mengguncang sebagian Jawa beberapa pekan lalu, menyisakan kesulitan bagi warga di beberapa daerah di Jawa Barat. Untuk meringankan penderitaan korban, bekerja sama dengan Korps Sukarelawan Salman dan World Vision Indonesia, Keluarga Mahasiswa ITB mengadakan program tanggap darurat dan pengiriman relawan bagi korban gempa di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berikut liputan tim Kantor Berita USDI ITB yang turut serta dalam rombongan relawan di Dusun Narogotog, Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Perjalanan bermula dari inisiasi program tanggap darurat bencana gempa Jawa Barat yang diprakarsai oleh Kementrian Pengabdian Masyarakat Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB bekerja sama dengan Korps Sukarelawan Salman. Sebagai awal, selama seminggu kementrian PM mengajak masyarakat kampus melalui himpunan-himpunan jurusan untuk mengumpulkan bantuan bagi para korban gempa. Pemberian bantuan direncanakan berlangsung selama 7 hari pada tanggal 12 - 18 September 2009. Bantuan diserahkan kepada Dusun Narogtog, desa Margamulya, salah satu desa binaan ITB yang terkena bencana gempa.
Sebanyak 25 orang relawan yang diantaranya berasal dari staf kementrian PM, Himpunan Mahasiswa Planologi (HMP) Pangripta Loka, dan Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma (IMA-G) ITB, diberangkatkan ke desa Narogtog pada hari Sabtu pagi (12/9). Menyusul pada hari selanjutnya para mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Metalurgi dan Geothermal.
Pada hari pertama, relawan yang ada dibagi kedalam beberapa pos kegiatan yaitu trauma healing, pendekatan
masyarakat, pelayanan kesehatan, dan assesment (pendataan). Bekerja sama dengan World Vision Indonesia (WVI), kegiatan trauma healing berlangsung setiap pagi hari hingga tanggal 16, berupa sekolah darurat di lapangan SDN 3 Pangalengan - yang berlokasi sama dengan SDN 1 Pangalengan, SDN Pasanggrahan, dan SMP Pasundan Pangalengan, serta perpustakaan keliling dari WVI. Tercatat 700 anak SD dan SMP menghadiri program tersebut pada Sabtu (12/9) pagi.
Kegiatan trauma healing pada Minggu (13/9) dihiasi dengan aneka hiburan seperti senam pagi yang dipandu oleh mahasiswa Lingkung Seni Sunda ITB, panggung gembira, cukur rambut gratis, permainan rakyat dan buka bersama. Rangkaian kegiatan pada hari kedua digagas oleh tim Mari Menolong di Hari Ramadhan (MANOHARA) yang merupakan gabungan dari mahasiswa ITB berbagai jurusan. Seluruh rangkaian program trauma healing yang awalnya direncanakan berlangsung hingga tanggal 18, harus berakhir pada tanggal 16 akibat kurangnya sumber daya relawan dan telah selesainya kerjasama dengan World Vision Indonesia.
Program pelayanan kesehatan diselenggarakan bekerja sama dengan mahasiswa lulusan fakultas kedokteran UNPAD. Beberapa relawan PM KM ITB dilatih ilmu kedokteran sederhana seperti mengukur tensi, mengenali jenis obat dan penyakit yang umum menjangkiti korban gempa. Pelayanan kesehatan berupa pengobatan gratis dilakukan di Desa Sukamanah (12/9) dan daerah Malabar (13/9). Antusiasme warga sangat tinggi, terbukti dengan jumlah warga yang datang mencapai ratusan orang sehingga seringkali tim pelayanan kesehatan kehabisan persediaan obat.
Sementara itu, pendekatan masyarakat dan assesment dilakukan pada 11 dari 20 RW di dusun Narogtog. Medan yang sulit dijangkau menjadi kendala bagi kelancaran program. Pendataan yang ada mencangkup data kependudukan. Selain pendataan, tim pendekatan masyarakat membantu sosialisasi program tanggap bencana dan menjalin silaturahmi dengan warga sekitar.
Guru SD Mendadak
Keberangkatan para mahasiswa dibawah bendera pengabdian masyarakat (PM) KM ITB merupakan inisiasi awal dari program jangka panjang recovery dan rehabilitasi pasca gempa. Pada tahap recovery saat ini, pengiriman relawan difokuskan pada kegiatan trauma healing bagi anak-anak korban gempa. Di desa Narogtog sendiri, tercatat sebanyak 1400 anak usia SD dan SMP tidak dapat bersekolah akibat bangunan sekolah mereka runtuh atau rusak parah.
Relawan PM KM pada pos trauma healing bertugas sebagai fasilitator dan pendamping para guru. Setiap pagi selama dua 2-3 jam, para siswa SD dan SMP bermain dan belajar santai di bawah tenda-tenda darurat di lapangan SDN 3 Pangalengan. Respon yang diterima relawan cukup positif, terbukti dari semakin meningkatnya jumlah anak yang menghadiri sekolah darurat. Beberapa relawan mengaku kewalahan awalnya karena ini merupakan pengalaman pertama menjadi "guru SD" mendadak; menangani puluhan bahkan ratusan anak-anak. Namun, melihat antusiasme anak-anak, hal tersebut seolah menjadi "reward" tersendiri.
Tidak Tepat Sasaran
Tim kantor berita yang turut serta dalam pos pendekatan masyarakat berkesempatan berbicara dengan beberapa orang warga setempat. Dalam perjalanan berkeliling dusun Narogtog, terlihat sejumlah bangunan rusak bahkan hancur terkena gempa. Sementara itu, dari hasil wawancara dengan para ketua RW, didapat keterangan bahwa sejumlah bantuan telah sampai ke tangan warga. Sayangnya, bantuan tersebut tidak mencukupi atau tidak tepat sasaran.
Di RW 19 misalnya, terdapat 147 kepala keluarga dengan total 518 warga. Setiap kepala keluarga hanya memperoleh bantuan beras sebanyak ½ L. Sementara bantuan bahan makanan gandum berlabel USAID justru tidak tepat sasaran karena warga tidak mengerti cara mengolahnya.
Sementara itu, pengumpulan dana bantuan dari masyarakat kampus ITB memperoleh hasil sebanyak Rp 8.864.050,- Selain berbentuk dana, bantuan juga berupa pakaian layak pakai, bahan pangan, dan obat-obatan. Sebagian besar ketua RW di Narogtog sendiri mengatakan bahwa bantuan yang sebenarnya dibutuhkan warga adalah beras dan dana untuk pembangunan rumah. Warga juga mengharapkan adanya tim penilai kelayakan rumah seperti yang terjadi ketika gempa Yogyakarta dahulu, misalnya dari mahasiswa arsitektur, geodesi ataupun teknik sipil.
Untuk masa rehabilitasi, Sunarni (Farmasi'07), ketua program tanggap darurat bencana gempa Jawa Barat, mengaku belum memiliki rencana pasti. Sunarni dan timnya masih mensurvey keadaan di lapangan sebagai masukan dalam memilih program rehabilitasi yang tepat. "Apa yang dilakukan saat ini masih berupa inisiasi awal. Langkah selanjutnya masih harus dibicarakan lagi dengan berbagai lembaga di ITB," jelas Sunarni. Ia juga berharap agar berbagai elemen di ITB dapat lebih meningkatkan partisipasinya dalam program tanggap darurat ini.
Sebanyak 25 orang relawan yang diantaranya berasal dari staf kementrian PM, Himpunan Mahasiswa Planologi (HMP) Pangripta Loka, dan Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma (IMA-G) ITB, diberangkatkan ke desa Narogtog pada hari Sabtu pagi (12/9). Menyusul pada hari selanjutnya para mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Metalurgi dan Geothermal.
Pada hari pertama, relawan yang ada dibagi kedalam beberapa pos kegiatan yaitu trauma healing, pendekatan
masyarakat, pelayanan kesehatan, dan assesment (pendataan). Bekerja sama dengan World Vision Indonesia (WVI), kegiatan trauma healing berlangsung setiap pagi hari hingga tanggal 16, berupa sekolah darurat di lapangan SDN 3 Pangalengan - yang berlokasi sama dengan SDN 1 Pangalengan, SDN Pasanggrahan, dan SMP Pasundan Pangalengan, serta perpustakaan keliling dari WVI. Tercatat 700 anak SD dan SMP menghadiri program tersebut pada Sabtu (12/9) pagi.
Kegiatan trauma healing pada Minggu (13/9) dihiasi dengan aneka hiburan seperti senam pagi yang dipandu oleh mahasiswa Lingkung Seni Sunda ITB, panggung gembira, cukur rambut gratis, permainan rakyat dan buka bersama. Rangkaian kegiatan pada hari kedua digagas oleh tim Mari Menolong di Hari Ramadhan (MANOHARA) yang merupakan gabungan dari mahasiswa ITB berbagai jurusan. Seluruh rangkaian program trauma healing yang awalnya direncanakan berlangsung hingga tanggal 18, harus berakhir pada tanggal 16 akibat kurangnya sumber daya relawan dan telah selesainya kerjasama dengan World Vision Indonesia.
Program pelayanan kesehatan diselenggarakan bekerja sama dengan mahasiswa lulusan fakultas kedokteran UNPAD. Beberapa relawan PM KM ITB dilatih ilmu kedokteran sederhana seperti mengukur tensi, mengenali jenis obat dan penyakit yang umum menjangkiti korban gempa. Pelayanan kesehatan berupa pengobatan gratis dilakukan di Desa Sukamanah (12/9) dan daerah Malabar (13/9). Antusiasme warga sangat tinggi, terbukti dengan jumlah warga yang datang mencapai ratusan orang sehingga seringkali tim pelayanan kesehatan kehabisan persediaan obat.
Sementara itu, pendekatan masyarakat dan assesment dilakukan pada 11 dari 20 RW di dusun Narogtog. Medan yang sulit dijangkau menjadi kendala bagi kelancaran program. Pendataan yang ada mencangkup data kependudukan. Selain pendataan, tim pendekatan masyarakat membantu sosialisasi program tanggap bencana dan menjalin silaturahmi dengan warga sekitar.
Guru SD Mendadak
Keberangkatan para mahasiswa dibawah bendera pengabdian masyarakat (PM) KM ITB merupakan inisiasi awal dari program jangka panjang recovery dan rehabilitasi pasca gempa. Pada tahap recovery saat ini, pengiriman relawan difokuskan pada kegiatan trauma healing bagi anak-anak korban gempa. Di desa Narogtog sendiri, tercatat sebanyak 1400 anak usia SD dan SMP tidak dapat bersekolah akibat bangunan sekolah mereka runtuh atau rusak parah.
Relawan PM KM pada pos trauma healing bertugas sebagai fasilitator dan pendamping para guru. Setiap pagi selama dua 2-3 jam, para siswa SD dan SMP bermain dan belajar santai di bawah tenda-tenda darurat di lapangan SDN 3 Pangalengan. Respon yang diterima relawan cukup positif, terbukti dari semakin meningkatnya jumlah anak yang menghadiri sekolah darurat. Beberapa relawan mengaku kewalahan awalnya karena ini merupakan pengalaman pertama menjadi "guru SD" mendadak; menangani puluhan bahkan ratusan anak-anak. Namun, melihat antusiasme anak-anak, hal tersebut seolah menjadi "reward" tersendiri.
Tidak Tepat Sasaran
Tim kantor berita yang turut serta dalam pos pendekatan masyarakat berkesempatan berbicara dengan beberapa orang warga setempat. Dalam perjalanan berkeliling dusun Narogtog, terlihat sejumlah bangunan rusak bahkan hancur terkena gempa. Sementara itu, dari hasil wawancara dengan para ketua RW, didapat keterangan bahwa sejumlah bantuan telah sampai ke tangan warga. Sayangnya, bantuan tersebut tidak mencukupi atau tidak tepat sasaran.
Di RW 19 misalnya, terdapat 147 kepala keluarga dengan total 518 warga. Setiap kepala keluarga hanya memperoleh bantuan beras sebanyak ½ L. Sementara bantuan bahan makanan gandum berlabel USAID justru tidak tepat sasaran karena warga tidak mengerti cara mengolahnya.
Sementara itu, pengumpulan dana bantuan dari masyarakat kampus ITB memperoleh hasil sebanyak Rp 8.864.050,- Selain berbentuk dana, bantuan juga berupa pakaian layak pakai, bahan pangan, dan obat-obatan. Sebagian besar ketua RW di Narogtog sendiri mengatakan bahwa bantuan yang sebenarnya dibutuhkan warga adalah beras dan dana untuk pembangunan rumah. Warga juga mengharapkan adanya tim penilai kelayakan rumah seperti yang terjadi ketika gempa Yogyakarta dahulu, misalnya dari mahasiswa arsitektur, geodesi ataupun teknik sipil.
Untuk masa rehabilitasi, Sunarni (Farmasi'07), ketua program tanggap darurat bencana gempa Jawa Barat, mengaku belum memiliki rencana pasti. Sunarni dan timnya masih mensurvey keadaan di lapangan sebagai masukan dalam memilih program rehabilitasi yang tepat. "Apa yang dilakukan saat ini masih berupa inisiasi awal. Langkah selanjutnya masih harus dibicarakan lagi dengan berbagai lembaga di ITB," jelas Sunarni. Ia juga berharap agar berbagai elemen di ITB dapat lebih meningkatkan partisipasinya dalam program tanggap darurat ini.