Teliti Biokatalis, Dosen ITB Hasilkan Ekstrak Enzim dari Mikroorganisme Laut

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Foto: Ferio Brahmana


BANDUNG, itb.ac.id – Apakah kita sering bertanya, siapa yang mengubah nasi menjadi karbohidrat di dalam tubuh kita? Siapa yang mengambil protein dari daging yang kita beli saat makan siang? Jawabannya adalah  biokatalis. 

Biokatalis atau biasa disebut enzim diketahui sangat berpengaruh pada laju dari berbagai macam proses kimia di dalam tubuh makhluk hidup. Hal inilah yang menjadi objek penelitian salah satu dosen Program Studi Kimia Institut Teknologi  Bandung, Dessy Natalia, PhD. Ia membagikan isi penelitiannya dalam Seri Kuliah Umum FMIPA ITB pada Sabtu (29/11/2018) dengan judul “Eksplorasi Biokatalis Lokal untuk Sains dan Kesejahteraan” di Auditorium Campus Centre Timur ITB. “Biokatalis itu penting sekali dalam keberjalanan makhluk hidup,” ucap Dessy.


Ia mengatakan bahwa enzim mengolah makanan yang masih berupa gula-gula besar menjadi substrat yang lebih kecil sehingga bisa diolah menjadi gizi bagi sel. Kebermanfaatannya ini juga sangat berguna bagi proses pengolahan makanan. Seperti yang mungkin telah biasa dilakukan, penggunaan nanas sebagai pengempuk daging. Hal ini adalah contoh pemanfaatan enzim dalam tanaman untuk menambah kualitas daging.

Selain itu, enzim juga memiliki nilai industri yang baik. Menurut Dessy, pada tahun 2016, pasar enzim telah mencapai 4,6 Miliar US Dolar. Namun, Indonesia sendiri masih minim industri yang spesifik pada produksi rekombinan – semacam kloning – biokatalis. Padahal ada banyak sekali industri yang memerlukan biokatalis ini, seperti industri tekstil pada saat melakukan pewarnaan, produksi bio-ethanol, pembuatan roti, sampai industri obat-obatan tablet. Inilah yang memulai Dessy sebagai seorang kimiawan untuk melakukan eksplorasi terhadap biokatalis. “Sains itu muncul dari kebutuhan dan rasa penasaran, tim kami memulainya dari kebutuhan ini,” tandasnya.

Ia memulai penelitian dengan fokus pada enzim alpha-amilase. Enzim tersebut berguna untuk mengubah pati menjadi oligosakarida, sejenis gula. Dessy melakukan beberapa modifikasi kepada Saccharomyces dan menamainya Sfamy. Enzim diubah sedemikian rupa sehingga didapat kriteria yang disukai oleh pelaku industri, seperti tahan dan tetap bekerja optimum pada suhu tinggi, dan  memiliki kelajuan yang mumpuni. “Enzim selama ini masih sering diimpor dan harganya mahal, jadi kami berharap modifikasi ini bisa ikut turut membantu pelaku industri dan kesejahteraan masyarakat,” ungkap Dessy.

Setelah melakukan eksplorasi tersebut, Dessy dan tim mulai muncul rasa penasarannya. Mengingat bahwa Indonesia kaya akan terumbu karang, yaitu sebanyak 40% dari dunia, maka tim mulai bergerak untuk ekstraksi enzim dari mikroorganisme laut. Tim tersebut juga dibantu dosen dari Universitas Diponegoro dalam melaksanakan eksplorasi ini. “Ini akan menjadi menarik karena jika ditemukan hal yang unik, maka ini adalah ‘asli’ Indonesia,” tambahnya.

Hasil dari eksplorasi tersebut memang menimbulkan banyak decak kagum bagi dunia sains modern. Tim berhasil mendapatkan sekresi alpha-amilase dari Bacillus aquamaris yang didapat dari habitat Sinuralia sp. Alpha-amilase ini unik karena merupakan kerabat baru bagi keluarga GHB, salah satu keluarga enzim berdasarkan asal inang. “Tidak puas dengan hasil tersebut, kami pun terus bergelora menuju eksplorasi selanjutnya,” tambah Dessy. 

Dalam eksplorasi berikutnya, didapatkan penemuan NL3, mikroorganisme yang didapat dari anemon laut. Organisme tersebut menjadi spektakuler karena ada kode gen baru yang ditemukan dalamnya dan berbeda dengan pengetahuan akan alpha-amilase sebelumnya.

Terakhir, Dessy menyampaikan pendapatnya soal kolaborasi antara institusi pendidikan, pemerintah, dan industri. Ini menunjukkan bahwa masih diperlukan sebuah jembatan yang memang bisa secara optimal menghadirkan tiga kekuatan tersebut dalam satu wadah yang sama. Dengan adanya penelitian tersebut, diharapkan dapat menginspirasi peneliti, pelaku industri, maupun pemerintah untuk Indonesia yang lebih baik lagi. “Kami akan sangat menunggu kerja sama pemerintah maupun industri dalam mengolah biokatalis, ini merupakan sebuah kesempatan yang amat baik,” harapnya.

Reporter: Ferio Brahmana