Temu Virtual Observatorium Bosscha, Mengungkap Hilal dan Pengamatannya
Oleh Adi Permana
Editor Vera Citra Utami
BANDUNG, itb.ac.id—Pada Sabtu (10/4/2021), Observatorium Bosscha mengadakan Temu Virtual dengan tema pengamatan hilal dalam rangkaian menuju Ramadhan 1442 Hijriah. Webinar ini dibawakan oleh dua narasumber terpercaya dalam bidangnya masing-masing, yaitu Hendro Setyanto, M.Si. serta Muhammad Yusuf, S.Si.
Hisab-Rukyat dalam Penetapan Awal Bulan Hijriah
Pemaparan pertama disampaikan oleh Hendro Setyanto, M.Si. mengenal hisab-rukyat serta bagaimana menentukan awal bulan Hijriah di Indonesia. Dia mengatakan, sistem kalender yang digunakan masa kini dapat dibedakan menjadi 3 berdasar orbit atau benda langit yang digunakan; kalender bulan, matahari, dan bulan-matahari.
“Yang difokuskan pada pemaparan kali ini adalah kalender Hijriah, yaitu kalender yang disandarkan pada siklus sinodis bulan,” paparnya seraya menambahkan, awal bulan pada kalender Hijriah ini ditandai dengan terlihatnya hilal.
Dijelaskannya, bahwa rukyat hilal merupakan sebuah observasi penampakan sabit hilal yang dilaksanakan pada 29 Hijriah setelah matahari terbenam, dalam hadits disebutkan jika hilal terlihat, maka telah masuk tanggal 1 bulan baru. Namun jika hilal tidak terlihat, maka diistikmalkan tanggal 30 hari pada bulan berjalan.
Hendro menjelaskan ada beberapa kriteria diterimanya (imkan) kesaksian rukyat sebagai penanda awal mula bulan Ramadhan, yang disebut sebagai kriteria mabims. Kriteria mabims baru yang ditetapkan adalah tinggi (dalam gambar disimbolkan dengan huruf h) 3 derajat dengan elongasi (dalam gambar disimbolkan dengan huruf aL) 6,4 derajat. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa jika kesaksian yang masuk tidak sesuai dengan kriteria mabims baru, maka kemungkinan besar kesaksian rukyat tersebut ditolak.
“Hal penting yang ingin saya sampaikan adalah Indonesia menganut Matlak Wilayatul Hukmi, yaitu kesaksian rukyat di satu lokasi dapat diberlakukan untuk keseluruhan wilayah Indonesia,” tutupnya.
Pengembangan Metode Pengamatan Hilal di Observatorium Bosscha
Narasumber kedua dalam webinar hari ini adalah Muhammad Yusuf, S.Si. yang membuka pemaparannya dengan contoh data pengamatan hilal pada 8 hingga 10 tahun yang lalu. Pada pengamatan hilal, seringkali diperlukan olah citra terlebih dahulu agar ketajaman dan kontras dapat ditingkatkan lagi. Ketika ditelusuri lebih lanjut, penyebab rendahnya kontras ketika pengamatan adalah atmosfer yang melindungi bumi.
Yusuf menggunakan pengandaian bahwa jika manusia melihat matahari dari planet yang tidak memiliki atmosfer, merkurius misalnya, maka ketika melakukan pengamatan ke arah selain matahari akan terlihat hitam ataupun gelap. Namun berbeda jika melakukan pengamatan terhadap matahari di bumi, ketika pandangan dialihkan ke arah selain matahari, maka yang terlihat adalah biru atau putih kebiruan akibat cahaya putih dari sinar matahari berinteraksi dengan partikel-partikel udara di atmosfer, menyebabkan cahaya putih tersebut terhambur.
“Kendala berikutnya adalah refraksi atmosfer. Atmosfer tidak hanya menghamburkan cahaya, namun juga membelokkan cahaya sehingga posisi benda langit sebenarnya dan posisi benda langit yang tampak memiliki perbedaan.”
Pengamatan hilal selama ini tidaklah mudah meskipun telah menggunakan teleskop dan kamera karena kondisinya merupakan kondisi ekstrem yang juga memerlukan penanganan ekstrem, sehingga tercetuslah ide untuk mengamati bulan pada siang hari. “Idenya adalah kami mengikuti pergerakan bulan ketika siang hari (ketika bulan telah tampak) hingga matahari terbenam.”
Setelah data-data didapatkan, secara umum dilakukan olah citra berupa penumpukkan gambar atau layer untuk mengatasi derau dari debu-debu yang menempel pada kamera hasil pengamatan. Adapun tahapan-tahapannya secara berurut adalah citra mentah, citra bersih, penumpukan citra, hingga pengaturan kontras.
Sebagai penutup, Yusuf mengungkap bahwa sejatinya antara hisab dan rukyat saling membantu, tidak akan ada hisab tanpa rukyat dan tidak akan ada pula rukyat tanpa hisab.
Reporter: Athira Syifa P. S. (Teknologi Pascapanen, 2019)