Ngopi: Ilusi Kebebasan di Era Digital
Oleh Zoealya Nabilla Zafra
Editor Zoealya Nabilla Zafra
BANDUNG, itb.ac.id – Zaman sekarang adalah zaman digital.
Dari mulai alat komunikasi, transportasi, bahkan hingga kegiatan sehari-hari
seperti membersihkan rumah pun, manusia menggunakan alat-alat bantu yang dan berkekuatan komputer.
Digitalisasi alat komunikasi memungkinkan manusia untuk mengemukakan
pendapatnya mengenai apapun yang mereka inginkan, terlepas dari norma-norma
yang terikat. Hal inilah yang ingin dibahas oleh Loedroek ITB dalam acara
Ngobrol Opini (Ngopi) bertemakan ilusi kebebasan di era digital yang
dilaksanakan pada Sabtu (25/11/17) di Gedung TVST A, dengan pembicara Mody
Afandi, budayawan, dan Basuki Suhardiman, seorang teknorat alumni Loedroek ITB
’89.
Mula-mula, Mody Afandi yang kerap dipanggil Kang Mody
menyampaikan pandangannya mengenai budaya digital. Sebagai seorang pemerhati
dan pengkaji budaya digital, ia menyampaikan keinginannya untuk mengubah
perspektif masyarakat terhadap anak zaman sekarang untuk menjadi lebih
produktif sementara tetap mempertahankan budaya digital mereka.
Menurutnya, generasi Z (dimulai dari kelahiran 1990 hingga
1999) dan generasi milenial (kelahiran 2000 hingga 2017) adalah generasi yang
telah terpapar dunia digital sejak usia dini. Karenanya, secara tidak langsung,
mereka telah menjadikan peralatan digital sebagai kebudayaan.
Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi lainnya. Seorang anak kelahiran 1990, yang sudah mengenal jaringan
internet sejak kecil, kemungkinan besar mendidik anak-anaknya dengan memanfaatkan
peralatan seperti televisi, iPad atau tablet, komputer, dan alat-alat digital
lainnya.
Selain itu, terdapat tujuh unsur kebudayaan menurut
Koentjoroningrat, yakni (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) sistem
kemasyarakatan/organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5)
sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Menurut
Kang Mody, budaya digital yang sedang ia kaji ini memenuhi ketujuh unsur
tersebut.
Dalam unsur bahasa, budaya digital telah menciptakan suatu
bahasa baru, yakni bahasa ‘alay’ dan bahasa SMS. Dalam unsur sistem
pengetahuan, budaya digital telah memudahkan penggunanya untuk mengeksplorasi
informasi sejauh mungkin dengan memanfaatkan Google. Dalam unsur sistem kemasyarakatan/organisasi sosial, Kang
Mody memaparkan mengenai banyaknya grup-grup virtual di Whatsapp atau LINE yang
melebihi jumlah grup dan organisasi mereka di dunia nyata.
Selanjutnya, dipandang dari sisi sistem mata pencaharian hidup, budaya digital telah melahirkan berbagai macam pekerjaan baru, salah satunya YouTuber; sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak diekspektasikan untuk muncul berpuluh-puluh tahun lalu. Dari sisi sistem peralatan hidup/teknologi, religi, dan kesenian, budaya digital menciptakan sebuah ritual: menatap layar dan memijit tombol, baik tombol tersebut nyata maupun virtual (layar sentuh).
Menurut Kang Mody, kebebasan dalam dunia digital terbagi menjadi dua jenis, yakni kebebasan positif dimana pengguna dapat mengemukakan pendapatnya ke khalayak luas dan dapat menerima komentar balik dari para pembacanya, dan kebebasan negatif, dimana para individu sebenarnya dinaungi oleh tirani dan otoritas. Berbeda dengan Kang Mody, pembicara kedua, Basuki Suhardiman, membahas hal mengenai cara mengelola informasi dalam internet. Ia memulainya dengan mencantumkan metode/kerangka untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Awalnya sebelum mulai memikirkan cara-cara untuk memecahkan masalah-masalah di internet, pengguna harus mendefinisikan isu yang ada, secara historis (apakah masalah pernah terjadi dan bagaimana cara penyelesaiannya) dan secara aktual (masalah yang terjadi sekarang ini). Beliau kemudian menyampaikan mengapa internet dan media sosial perlu ada. Menurutnya, keberadaan kedua hal tersebut meningkatkan kecepatan mengomunikasikan dan/atau mengakses informasi, murah, dan fleksibel.
Masalah dan tantangan di internet dan sosial media antara lain (1) informasi sampah (spamming), seperti spam mail, (2) jebakan netiquette, yang menyebabkan sebagian orang menjadi bertingkah seenaknya dan tidak memerhatikan etika dalam mengemukakan pendapat, (3) kendala manajemen, dan (4) klasifikasi informasi. Setelah mendefinisikan masalah yang dihadapi, langkah selanjutnya adalah formulasi peraturan, yakni menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan.
Pertama adalah literasi. Dengan memperluas ilmu pengetahuan mengenai masalah-masalah tersebut, seperti latar belakang dan detil-detil masalah, peluang untuk menyelesaikan tantangan tersebut menjadi lebih besar. Hal kedua adalah dengan mengubah cara pandang. Dalam permasalahan yang mungkin melibatkan orang lain (seperti pertengkaran di media sosial), diperlukan sifat terbuka (open-mindedness). Sebisa mungkin, kedua belah pihak harus mencoba menempatkan posisinya sebagai pihak lainnya dan mencoba memahami mengapa pihak tersebut berpikiran seperti itu. Selanjtnya yang terakhir adalah design thinking.
Beliau menekankan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menggunakan internet, yakni (1) menggunakan prinsip 5W+H untuk menyampaikan
sesuatu secara online, untuk mencegah
terjadinya hoax, (2) menyampaikan
pertanyaan secara lugas dan tegas, untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman,
dan (3) mengembangkan literasi, dan (4) mengembangkan cara pikir dengan
melakukan design thinking.
Sumber gambar: dokumentasi penulis