Threats and Opportunities of Quantum Technology for Industries, Bahas Potensi Kuantum untuk Industri

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita

Dok. FTI ITB

BANDUNG, itb.ac.id - Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (FTI ITB) menyelenggarakan kegiatan diseminasi informasi bertajuk “Threats and Opportunities of Quantum Technology for Industries”, pada Kamis (12/9/2024) secara hybrid di Auditorium Campus Center Timur, ITB Kampus Ganesha, serta platform Zoom.

Acara ini dibuka oleh Dekan FTI ITB, Prof. Brian Yuliarto, Ph.D. Adapun yang menjadi panelis dalam agenda tersebut antara lain Wakil Kepala BRIN Laksamana Madya TNI (Purn.) Prof. Dr. Ir. Amarulla Octavian, S.T., M.Sc., DESD., IPU., ASEAN.Eng., dosen FTI Prof. Ir. Hermawan Kresno Dipojono, M.S.EE, Ph.D., dan peneliti senior dari BRIN Dr. Agung Budiyono.

Dalam sambutannya, Prof. Brian menekankan pentingnya menyongsong teknologi masa depan seperti teknologi komputasi kuantum ini. Selanjutnya beliau mengharapkan baik panelis maupun peserta dapat mengeksplorasi lebih lanjut topik tersebut.

Setelah itu, Prof. Amarulla menjelaskan tinjauan umum mengenai kebijakan pemerintah terhadap teknologi komputasi kuantum ini. Diperkirakan proyeksi teknologi kuantum ini akan mencapai USD 106 miliar pada tahun 2040. Di mana, tiga negara terbesar dalam mengadopsi kuantum saat ini adalah Tiongkok (43%), Belanda (42%), dan Amerika Serikat (22%). Untuk riset-riset kuantum yang sudah dipublikasikan, AS mendominasi dengan 26%, lalu diikuti oleh Tiongkok (23%).

"Berbagai riset dan adopsi teknologi yang sudah disebutkan mengerucut pada 3 bidang, antara lain Quantum Computing, Quantum Telecommunication & Security, serta Quantum Sensing," ujarnya.

Prof. Amarulla kemudian menyampaikan komparasi kebijakan di berbagai negara perihal teknologi kuantum. Pertama di Amerika Serikat (AS), bahwa dimulai dengan suatu aktivitas yang diterbitkan pada tahun 2018, yaitu US National Quantum Initiative yang menjadi dasar pembuatan anggaran sebesar USD 1,2 miliar untuk dilakukan kerja sama riset oleh 4 lembaga sekaligus.

"Di Australia, setidaknya ada 3 pusat keunggulan kuantum, yakni Centre of Excellence for Future Low Energy Electronics (dibesut oleh Monash University), Centre of Excellence of Exciton Science (oleh University of Melbourne), dan Centre of Excellence for Quantum Computation and Communication Technology," ungkapnya.

Dok. FTI ITB

Sementara itu, Republik Rakyat Tiongkok sudah memulai riset kuantum sejak akhir dekade 1990-an. Prof. Amarulla memberikan insight bahwa berbagai infrastruktur militer milik Tiongkok di Laut Cina Selatan sudah mengaplikasikan teknologi kuantum. Pemerintah Tiongkok sendiri mencanangkan pada tahun 2030 akan berhasil memantapkan infrastruktur komunikasi kuantum nasional, mengembangkan purwarupa komputer kuantum, dan membangun fasilitas simulator kuantum.

Pemerintah India pada tahun 2023 lalu merancang proyeksi 5 tahun ke depan dengan tajuk National Mission on Quantum Technologies. Proyek tersebut dianggarkan sebesar USD 1 miliar.

"Indonesia membutuhkan teknologi quantum security guna melindungi infrastruktur siber dan obyek-obyek vital nasional. BRIN sendiri saat ini sedang mempersiapkan jaringan High Performance Computer (HPC) sebagai bagian dari teknologi kuantum," tuturnya.

Secara umum, diprediksi bahwa teknologi kuantum akan berbicara banyak pada industri-industri, sebut saja automotive, aerospace, chemicals, dan financial services. Secara khusus, Quantum Sensing adalah teknologi yang akan banyak kita butuhkan, terutama dalam melakukan eksplorasi sumber daya di darat dan di laut.

Prof. Amarulla menyimpulkan bahwa sudah banyak negara di dunia yang ikut serta dalam “perlombaan” guna melakukan riset dan adopsi teknologi kuantum untuk kepentingan masing-­masing. "Indonesia tidak boleh tertinggal dalam memasuki bidang ini. Jangan sampai kita hanya menjadi pedagang dan pengguna ketika negara-negara memiliki paten dan mendapat manfaat komersial dari teknologi ini," paparnya.

Pada sesi kedua, Prof. Hermawan Kresno Dipojono mempresentasikan gagasannya mengenai “Shake Hand between Quantum Computing and Machine Learning”.

Beliau menggarisbawahi bahwa kita masih membutuhkan komputer yang lebih maju daripada komputer digital atau klasik saat ini. Sebab, masih banyak problem-problem yang belum bisa diselesaikan dengan kemampuan komputer klasik, baik dari sisi hardware maupun algoritma. Komputer klasik bisa menyelesaikan masalah yang dimaksud namun membutuhkan komputasi selama puluhan tahun. Di sanalah komputer kuantum berperan dalam memberikan hasil yang lebih cepat dan bermanfaat untuk peradaban manusia.

Prof. Hermawan mengajak untuk mulai menggunakan komputasi kuantum ini supaya awareness tentang kuantum ini terbangun di sekitar kita, khususnya di kalangan pengambil keputusan. Beliau mengingatkan kembali mengenai sejarah industri semikonduktor di mana Indonesia terlambat mengambil peran selaku pengembang dan produsen.

"Setidak-tidaknya gagal menjadi produsen, kita bisa menjadi excellent user, bukan user biasa yang sekedar menggunakan, melainkan user yang signifikan di mata pengembang teknologi kuantum," kata Prof. Hermawan.

Pada sesi ketiga, Dr. Agung Budiyono memulai presentasinya dengan memperkenalkan perbedaaan konsep-konsep sumber daya kuantum (entanglement, superposition, tunneling) kuantum dan teknologi-teknologi yang dikembangkan dari sumber daya-sumber daya tersebut.

"Jika dikemas menjadi dua macam era, maka pada teknologi kuantum 1.0, fisika kuantum memberi jalan ditemukannya transistor, laser, dan berbagai generasi teknologi yang melahirkan komputer, telepon pintar, dan lain sebagainya. Skema atau protokol teknologi generasi tersebut masih memakai logika sehari-hari. Belum menggunakan sumber daya-sumber daya superpotition, entanglement, dan tunneling," ucap Dr. Agung.

Sementara pada teknologi kuantum 2.0, fenomena-fenomena superposisi, entanglement, dan pengukurannya tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan logika-intuisi sehari-hari secara naif.

Dr. Agung menunjukkan bahwa kita bisa memanfaatkan fenomena kuantum tersebut guna mendesain teknologi yang lebih “superior” dari teknologi digital biasa. "Sehingga kita bisa membuat simulasi-simulasi superior yang tidak bisa disimulasi dengan teknologi digital atau klasik yang ada saat ini," pungkasnya.