Tim CUDA ITB Juarai Garuda Hacks 5.0 dengan Solusi Kreatif untuk Mantan Warga Binaan
Oleh Raja Parmonang Manurung - Mahasiswa Teknik Pertambangan, 2021
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id - Empat mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), yang tergabung dalam tim CUDA raih 3 penghargaan dalam kompetisi hackathon Garuda Hacks 5.0.
Ajang tersebut diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas). Garuda Hacks 5.0 merupakan iterasi kelima dari hackathon perdana Indonesia yang mengusung tema "Sigma: Kindness for a Better Tomorrow".
Mekanisme lomba ini adalah peserta diberikan waktu 36 jam untuk membuat sebuah situs aplikasi yang mengajukan solusi kreatif berdasarkan tema yang diberikan. Peserta dapat memilih salah satu dari dua track lomba, yaitu helping hands dengan mengusulkan solusi untuk membantu individu yang mengalami kesulitan serta stronger together dengan mengusulkan solusi dengan fokus pada kebersamaan komunitas.
Menariknya, kompetisi hackathon ini adalah kompetisi hackathon internasional tahunan di Indonesia dan menjadi hackathon terbesar di Asia Tenggara (SEA’s largest hackathon). Terdapat 8 awards yang dapat diraih. Tim CUDA berhasil meraih juara pertama kategori helping hands, best AI hack, dan wolfram award. Acara penghargaannya dilaksanakan di Universitas Media Nusantara, Sabtu (13/7/2024).
Tim CUDA yang beranggotakan Arleen Chrysantha Gunardi, Austin Gabriel Pardosi, Go Dillon Audris, dan Michael Leon Putra Widhi membawakan platform bernama Jendela. Jendela adalah platform yang membantu warga binaan atau mantan narapidana untuk mendapatkan kesempatan untuk membangun kembali hidup mereka. “Sering mereka terjebak dalam lingkaran setan dan kesulitan menyalurkan kemampuan,” ujar salah seorang anggota kelompok, Leon.
Jendela hadir untuk menghubungkan mereka dengan lembaga pelatihan (NGO) serta industri dan bisnis yang membutuhkan tenaga kerja. “Warga binaan dapat mendaftarkan diri ke pelatihan yang direkomendasikan sesuai minat dan kemampuan mereka,” tutur Dillon.
“Setelah mengikuti pelatihan, mereka dapat direkrut oleh bisnis dan industri yang membutuhkan tenaga kerja baru,” kata Austin.
Fitur yang Dimiliki Jendela
Salah satu tantangan utama adalah sulitnya penerimaan warga binaan oleh masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, Jendela menyediakan sistem pemantauan berupa penilaian bulanan dua arah antara bisnis dan warga binaan. “Kami juga mengintegrasikan teknologi generative AI, Gemini, sebagai asisten pengguna dalam menggunakan platform kami,” ujar Arleen.
Secara garis besar terdapat 4 aspek platform utama yang diusulkan oleh Tim CUDA, salah satunya adalah pelatihan dan kelas. Melalui platform ini warga binaan dapat memiliki akses pelatihan dan kelas melalui bantuan NGO yang ada.
Platform kedua adalah job matching, yaitu berisikan informasi pekerjaan yang dapat menghubungkan warga binaan dengan kesempatan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan baru mereka. Tak kalah menariknya, terdapat asesmen secara dua arah. “Asesmen ini diberikan untuk mengevaluasi pekerjaan para warga binaan pada tahun pertama,” ujar Leon.
Tim CUDA juga mengintegrasikan platform mereka dengan AI assistant bernama Dela untuk memberikan arahan kepada pengguna.
Perjalanan Tim CUDA Meraih Prestasi
Perjuangan tim CUDA cukuplah panjang. Tim CUDA awalnya mencari ide yang menarik terlebih dahulu. “Awalnya bingung karena temanya cukup abstrak ya dan fleksibel juga sebenernya bisa jadi apapun,” ujar Leon.
Namun, mereka memilih topik mengenai solusi untuk mantan warga binaan ini karena lebih dekat dengan masyarakat. Tim CUDA pun langsung melakukan penelitian di berbagai platform untuk menganalisis permasalahan ini.
Banyak tantangan yang dialami oleh tim CUDA dalam menyelesaikan kompetisi ini, apalagi tim CUDA belum pernah mengikuti hackathon secara luring. Namun Leon menuturkan hal yang paling terasa adalah soal manajemen waktu. Terlebih mereka harus membuat solusi mulai dari brainstorming, coding, dan diskusi yang harus dilakukan dalam waktu 36 jam.
Dari sisi teknikal, tim CUDA mengakui mengalami tantangan. Termasuk mengenai integrasi teknologi yang cukup beragam. Lalu beberapa di antara mereka masih kurang familiar dengan teknologi tertentu yang digunakan pada inovasi yang mereka buat.
Selain itu, tim CUDA pun menyoroti pentingnya fokus selama lomba berlangsung. Dillon menambahkan, "Menjaga fokus selama berjam-jam coding sambil menatap layar laptop dan memaksimalkan waktu adalah tantangan tersendiri. Kami hanya tidur 2,5 jam dari total 36 jam kompetisi."
Meski begitu, mereka mengaku sangat menikmati mengikuti ajang tersebut. “Buat pengalaman hackathon offline pertama benar-benar sangat seru sih, bisa merasakan semangat kompetisi yang dari awal pembukaan sampai akhirnya penutupan terasa sekali,” ucap Dillon.
Selama proses brainstorming dan riset, mereka juga banyak belajar mengenai kesulitan yang dihadapi warga binaan. “Waktu proses brainstorming dan research-nya, aku menyelam di internet dan ingin tahu mengenai apa saja struggles warga binaan. Aku menemukan bahwa banyak orang yang tergerak hatinya akan mereka, aku terharu,” kata Arleen.
Tim CUDA berpesan kepada mahasiswa lainnya untuk selalu mencoba hal baru, termasuk dalam berkompetisi. Austin menekankan bahwa yang terpenting adalah prosesnya, hasilnya nanti adalah sebuah bonus dari perjuangan yang telah dihadapi. “Look around! There’s a lot of problem di sekitar kita tapi kadang kita ngerasa tidak punya banyak kemampuan to solve it. Padahal kita bisa, kok!” ujar Leon.
Tim CUDA berharap melalui aplikasi warga binaan dapat memiliki kesempatan kedua dalam bekerja dan diterima di masyarakat dapat tercapai.
Reporter: Raja Parmonang Manurung (Teknik Pertambangan, 2021)