Tim FSRD ITB Kenalkan Teknik Membatik Guta Tamarin di Papua

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


BANDUNG, itb.ac.id—Indonesia dikenal dengan beragam budaya dan keseniannya. Di balik keragamannya terdapat berbagai cerita dan proses pembuatannya yang menarik untuk dipelajari.

Pada April lalu, tim FSRD ITB melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Buti, Samkai, Merauke, Papua. Kegiatan ini bertujuan untuk melaksanakan program pembelajaran membatik teknik wastra guta tamarin yang diikuti puluhan siswa SMP, SMA, remaja putus sekolah yang didanai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM ITB).

Dr. Nuning Yanti Damayanti, Dipl.Art., dari KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni, FSRD ITB, menjelaskan, masyarakat suku-suku di Papua dikenal dengan keahlian seni dan kerajinannya. Ibu-ibu rumah tangga mayoritas memiliki kemampuan merajut dan menganyam. Bahkan produk seni dan desainnya berupa patung, senjata, alat musik, dan lainnya sudah dikenal luas hingga ke mancanegara.

“Dengan adanya kegiatan ini harapannya dapat menambah wawasan dalam dunia seni sehingga bisa lebih mengembangkan produk seni lokalnya. Tidak menutup kemungkinan berpeluang memulihkan ekonomi masyarakat suku Papua di masa pandemi,” kata Dr. Nuning sebagaimana dikutip pada Rubrik Rekacipta ITB di Media Indonesia.

Potensi produk buatan masyarakat Merauke antara lain anyaman lidi berupa alat-alat rumah tangga produk suku Dani dan patung kayu produk suku Asmat yang sangat terkenal hingga mancanegara. Budi daya bunga anggrek juga menjadi unggulan utama karena potensi bunga langka dan liar di wilayah ini sangat beragam. Tradisi merajah dan melukis tubuh juga masih dilakukan di Papua se-hingga penduduk setempat banyak yang memiliki kemampuan menggambar dengan sangat baik.

Beanekaragam potensi yang terdapat di Merauke menjadikan tim staf pengajar dari Program Studi Seni Rupa ITB tertarik untuk memanfaatkan kemampuan menggambar suku Papua untuk diterapkan dalam produksi wastra (tekstil/kain) melalui pembelajaran teknik guta tamarin dengan menggunakan motif khas Papua yang diterapkan pada batik tulis/cap/colet. Teknik guta tamarain adalah inovasi dari teknik mewarnai kain yang mudah dipelajari, sangat efisien, ekonomis dan ramah lingkungan. Efisiensi waktu didapat karena pengerjaannya lebih cepat selesai daripada pembuatan batik tradisional.

*Foto: Dok. Dr. Nining

Tahap kegiatan. Dijelaskan Dr. Nining, kegiatan berlangsung selama tiga hari mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIT, dan dikemas secara menarik.

Pada hari pertama, dilakukan kegiatan lima tahap awal produksi wastra dengan teknik guta tamarin. Tahap pertama, tim menjelaskan teknik wastra guta tamarin, pengenalan bahan-bahan dasar, dan cara membuat guta tamarin. Tahap kedua ialah pemberian tugas kepada peserta untuk memilih objek dan menggambar pada kertas, terutama memilih objek-objek sangat khas di Merauke atau Papua, seperti burung cenderawasih, kasuari, alat musik tifa, bunga anggrek, alat tangkap ikan lokal, atau alam Papua. Pada tahap ketiga, memindahkan objek gambar ke permukaan kain berukuran 40 x 60 cm untuk selendang dan 100 x 200 cm untuk kain sinjang.

Selanjutnya memindahkan objek gambar ke permukaan kain. Setelah gambar selesai dibuat, tahap selanjutnya ialah mengalirkan gel guta tamarin pada permukaan kain sesuai dengan gambar yang dibuat. Tahap ini adalah tahap yang tersulit namun antusiasme terlihat ketika para peserta dengan mudah dan cepat menguasainya.

Setelah selesai me-nerapkan guta tamarin, penjemuran harus dilakukan sampai guta  merekat dengan baik dan mengering sehingga meyerupai garis-garis seperti lilin kering pada batik tulis.

Pada hari kedua dilanjutkan ke tahap pewarnaan. Peserta diajarkan cara mengencerkan bibit warna, menggunakan kuas dan beberapa teknik membuat tekstur dengan garam dan busa untuk mewarnai bidang yang besar. Ketika sudah mengering dan dipanaskan dengan setrika, warna akan menjadi sangat kuat dan cerah. Setelah disetrika, kain diplorod dengan cara mencuci tanpa detergen agar guta tamarin dibilas dan menjadi bersih. Selanjutnya dikeringkan dengan cara dijemur. Setelah kering, harus disetrika kembali dan pekerjaan selesai.

Di hari ketiga, tim mengalami kendala karena kondisi kala itu hujan deras sehingga sehingga sebagian karya belum kering dan terpaksa harus dikeringkan tanpa matahari. Walaupun demikian, tim merasa puas dengan hasilnya. Hal ini karena para peserta membuat karya-karya yang unik dan berhasil walaupun teknik ini masih awam bagi mereka. Melihat antusiasme yang tinggi dari peserta, Tim FSRD ITB merasa optimistis apabila program ini dapat berkelanjutan dan peserta dibekali bahan dasar untuk terus berkarya dan mengembangkannya secara mandiri.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)