Tim Palapa HME ITB Terangi Desa

Oleh prita

Editor prita

BANDUNG, itb.ac.id - Jika pada 1968 ITB menarik perhatian publik karena Iskandar Alisjahbana, dosen sekaligus alumni jurusan Teknik Elektro ITB, berhasil menyelesaikan satelit Palapa sebagai satelit komunikasi domestik pertama di Indonesia dan ketiga di dunia, tahun ini para mahasiswa elektro melakukan hal tepat guna yang serupa. Sekelompok mahasiswa Teknik Elektro ITB angkatan 2005 yang terinspirasi oleh satelit palapa, mengabadikan nama tersebut sebagai nama tim mereka yang memiliki proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) desa di Kabupaten Garut. Berawal dari tradisi perancangan proyek yang dilakukan tiap angkatan. Saat itu, angkatan 2005 yang masih berstatus angkatan termuda di Teknik Elektro, terinspirasi dari apa yang telah dilakukan oleh Iskandar Alisjahbana yang membawa manfaat banyak bagi masyarakat. Tim Palapa bertekad untuk melakukan hal serupa. Melalui proses brainstorming dan studi literatur, diputuskanlah bahwa mereka akan mengadakan pembangunan jaringan listrik dengan spesialisasi pembangkit listrik tenaga air skala pikohidro. Skala pikohidro sendiri terkait dengan jumlah kW yang dihasilkan yaitu di bawah 10 kW. Listrik telah menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat, namun masih banyak daerah yang belum tersentuh listrik. Indonesia yang seluas ini dan sebanyak ini penduduknya, hanya 51% penduduknya yang mendapat listrik dari PLN. Selain itu, tarif listrik saat ini semakin mahal. Demikianlah pemikiran dari tim Palapa. Mengapa menggunakan tenaga air? Fadolly Ardin, ketua HME mengungkapkan bahwa hal tersebut dikarenakan sungai-sungai di Indonesia sangat potensial. Aliran air cukup deras dan letaknya pun tidak jauh dari permukiman penduduk sehingga efisiensi makin besar. Selain itu, biaya yang dikeluarkan relatif lebih murah dibandingkan dengan pembangkit tenaga surya yang mahal dan efisiensinya sangat rendah. Yang terpenting, teknologi PLTA ini merupakan teknologi sederhana sehingga diharapkan masyarakat mampu mengoperasikan dan mengembangkannya sendiri. Dan proyek Community Development ini juga untuk mengejawantahkan salah satu tridharma pendidikan tinggi, yaitu pengabdian. Berbekal pengalaman dan keahlian yang masih sedikit, mulailah tim Palapa mencari info mengenai bagaimana membuat sebuah pembangkit listrik tenaga air. Setelah beberapa waktu belajar, pada Desember 2006, seorang mahasiswa S2 jurusan Teknik Mesin bersedia membantu mengajarkan tim Palapa mengenai dasar-dasar pembangunan pembangkit listrik. Jalan pun semakin terbuka ketika akhirnya sebuah perusahaan minyak mensponsori proyek ini. Dari Chevron, HME tidak sekadar mendapatkan kucuran dana tetapi juga wawasan mengenai bagaimana melaksanakan Community Development (CSR) agar proyek ini tepat guna dan membangun kedekatan mahasiswa dengan rakyat. Proyek tim Palapa ini sempat pula menjadi runner-up di kontes Engineering Award 2007 meski banyak mengundang protes dari beberapa dosen yang meragukan kemampuan dan ketepatan data-data mereka. Pada awal perjalanannya, proyek pembangunan PLTA skala pikohidro sempat mengalami berbagai hambatan, termasuk dari segi sumber daya manusia. Jadwal kuliah yang padat membuat penanganan proyek hanya dapat dilakukan pada masa libur panjang. November 2007, “project leader” proyek ini beralih ke tangan Testantoro Randi Putra karena Fadolly Ardin – “project leader” sebelumnya, naik jabatan menjadi ketua HME. Di tangan Randi, proyek terus berjalan ke tahap selanjutnya. Kepanitiaan pun ditata kembali dan secara garis besar dibagi ke dalam dua bidang ; community development dan teknis. Bidang community development mengatur hubungan sosial antara tim Palapa dengan warga desa setempat sementara bidang teknis mengatur pembangunan PLTA. Awalnya, desa yang menjadi objek adalah Desa Cimaragang di kabupaten Cianjur. Namun ternyata di desa tersebut sudah tersedia instalasi listrik dari PLN, maka proyek dipindahkan ke kampung Cilutung, desa Jayamukti kecamatan Ciurip, Garut. Desa Cilutung ini jauh dari PLN dan minim fasilitas. Warga harus menempuh jarak yang jauh untuk mencapai SMA, MCK pun begitu minim, potensi lokal desa itu pun belum tergali dan berkembang. Listrik begitu mahal di sana, warga harus membayar Rp 5000 per gantungan (istilah warga untuk lampu yang dipasang,red) per bulan, 1 lampu itu biasanya hanya 5 watt dan hanya menyala di malam hari. Selain kesulitan itu, Desa Cilutung memiliki potensi yaitu, dekat dengan sungai yang akan digunakan sebagai pemutar turbin dan masyarakat pun menyambut baik serta bersedia bekerja sama. Setelah beberapa kali survei, pada Januari – Februari 2008 dimulailah pembangunan jaringan listrik di Desa Cilutung. Kegiatan tersebut meliputi pendidikan dan pembekalan mengenai pembangkit listrik bagi warga desa; penentuan lokasi bersama dengan warga setempat; pembebasan lahan hingga akhirnya pembangunan kincir, turbin, dan generator. Pengerjaan dibagi ke dalam 2 tahap yang masing-masing berlangsung 1 minggu. Konsep yang akan diterapkan oleh tim Palapa adalah listrik yang dihasilkan oleh generator akan ditampung pada sebuah sarana umum, misalnya Masjid. Dari Masjid tersebut listrik akan disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Untuk mempermudah kontrol pemakaian dan menjaga agar generator tetap awet, maka listrik hanya dapat dinyalakan pada malam hari dan hanya ada 1 saklar pengendali. Pada uji coba pertama, dimulai dengan pembangunan kincir, turbin dan generator berdaya 3000 watt. Ternyata listrik yang dihasilkan hanya sekitar 1.6 kW dan belum termasuk penyusutan daya. Total energi listrik yang dihasilkan hanya mampu menerangi 30 rumah dengan estimasi daya tiap rumah sebesar 15 watt. Melihat hasil percobaan ini, tim Palapa memutuskan akan membuat percobaan kedua dengan mengganti generator 3000 watt menjadi generator 5000 watt. Hal tersebut hingga saat ini masih dalam proses. Dengan adanya PLTA Pikohidro ini, masyarakat sekarang hanya perlu membayar Rp 2000 untuk memenuhi kebutuhan listrik dan perbaikan fasilitas umum. Apa yang dilakukan oleh tim Palapa tidak berhenti pada pengadaan listrik di Desa Cilutung. Tim Palapa juga mempunyai program Taman Pendidikan Ceria bagi adik-adik di sana sekaligus untuk menjalin kedekatan mahasiswa dengan warga. Menurut Aep Syaefudin, interaksi dan kedekatan dengan warga inilah sebenarnya yang paling penting, bukan sekadar HME berhasil membangun pembangkit listrik dan menerangi desa. Dari proyek ini, anggota HME 2005 mengakui mendapat banyak pembelajaran, mengenai bagaimana berinteraksi dengan masyarakat dan teknis pembangunan sarana listrik. Pengalaman berinteraksi dengan masyarakat dan kebahagian telah mencoba berbuat sesuatu demi masyarakat amatlah tak terlupakan bagi mereka. Tak disangkal, proyek ini merupakan suatu kebanggaan untuk HME dan diharapkan juga untuk ITB bahwa pengabdian kepada masyarakat itu dapat terealisasi. Harapan dari HME adalah jurusan-jurusan lain di ITB dapat mengikuti jejak HME dalam melaksanakan Community Development dan alangkah baiknya jika community development itu dapat dilakukan terintegrasi se-ITB. “Agar menara gading ITB ini tidak runtuh.” kata Ochal.(prita-danar)