Workshop Publikasi SAPPK: Upaya Membangun Budaya Menulis dalam Meningkatkan Publikasi Hasil Riset
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar Workshop Publikasi SAPPK “Membangun Budaya Menulis dan Meningkatkan Visibilitas/Dampak Penelitian” pada Kamis (8/7/2021). Workshop ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Dr. Ir. Surjamanto Wonorahardjo, M.T. dari Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Bangunan dan Prof. Dr. Delik Hudalah, S.T., M.T., M.Sc. dari KK Perencanaan Wilayah dan Perdesaan. Acara ini merupakan kelanjutan dari Workshop Penulisan dan Publikasi Artikel di Jurnal Internasional Bereputasi yang dilaksanakan tiga minggu sebelumnya.
Workshop kali ini dibuka oleh Dr. Sri Maryati, S.T, MIP., Dekan SAPPK. Dalam sambutannya, dia menyampaikan urgensi publikasi sebagai hasil penelitian akademisi SAPPK. Dalam Standar Nasional (SN) Dikti ITB, terdapat kewajiban publikasi sebagai syarat sekaligus penentu predikat kelulusan bagi mahasiswa S2 dan S3 mulai angkatan 2021. Selain itu, publikasi juga penting dalam kenaikan jabatan dosen. Dengan banyaknya dana penelitian dan berbagai upaya mendorong ITB menjadi research university, webinar ini dirasa penting untuk diselenggarakan.
Dr. Surjamanto menyampaikan bahwa visibilitas publikasi biasanya dinilai dengan Hirsch Index. Indeks ini menilai visibilitas publikasi hanya dengan jumlah sitasi paper yang dihasilkan seseorang, padahal makna visibilitas publikasi lebih luas daripada jumlah sitasi. Di lain sisi, visibilitas publikasi dalam bentuk sitasi biasanya menentukan reputasi universitas. Oleh karena itu, diperlukan budaya menulis sebagai awal peningkatan visibilitas publikasi.
Terdapat dua tantangan terbesar dalam publikasi di perguruan tinggi, yaitu fenomena bottleneck dan valley of death. Bottleneck merupakan fenomena rendahnya perbandingan antara jumlah sitasi, jumlah publikasi, dan jumlah aktivitas riset yang dilakukan. Budaya riset ITB dinilai sudah cukup baik, tetapi perlu pembudayaan menulis hasil riset agar fenomena bottleneck tidak lagi terjadi.
Sementara itu, Valley of death, yang merupakan bottleneck tingkat lanjut, adalah fenomena sedikitnya hasil publikasi yang dikomersialkan sehingga perlu budaya inovasi dan kewirausahaan untuk mencegah fenomena ini terjadi. Banyak alasan hasil riset tidak terpublikasi, yang terbesar adalah kurangnya manajemen sumber daya, baik waktu, uang, maupun ketertarikan peneliti yang berpengaruh dalam kualitas publikasi riset.
“Perlu pembudayaan menulis dan kolaborasi antarpeneliti sehingga dapat menjadi complete study. Budaya menulis termasuk mencatat, membaca, menganalisis dengan kritis, dan mengarang dalam pola pikir kreatif,” ujar Dr. Surjamanto.
Pada sesi kedua, Prof. Delik melanjutkan pemaparan terkait cara meningkatkan visibilitas dan dampak penelitian. Dia menggarisbawahi budaya sebagai dasar yang kuat dalam meneliti hingga sampai pada proses publikasi. Namun, terdapat berbagai bahaya yang mengancam tujuan utama penelitian, salah satunya adalah budaya instan.
Diperlukan kesabaran dalam menulis karena menulis bukanlah proses yang instan. Diperlukan visi dan roadmap yang jelas sehingga penelitian tidak hanya terpaku pada tren. Menulis terdiri dari berbagai tahapan yang saling terkait, mulai dari input, proses, hasil, hingga dampak yang kompleks serta berjangka panjang. Selain itu, cara meningkatkan visibilitas dan dampak penelitian tidak hanya berada di level individu, tetapi juga berada di level sistem.
Perumpamaan paku payung digunakan Prof. Delik untuk menggambarkan strategi peningkatan sitasi. Dari berbagai disiplin ilmu, ada penelitian yang menjadi ujung tajam dan spesifik, menjadi penghubung antara ilmu dasar dan aplikasi, atau menjadi payung yang memiliki cakupan generik dalam bidang penelitiannya.
Pemaparan kedua pembicara ditutup dengan sesi tanya jawab yang terbuka bagi peserta di platform Youtube dan Zoom. Kedua pembicara menekankan pada kolaborasi antarpeneliti dalam menghasilkan suatu hasil publikasi penelitian yang komprehensif.
Reporter : Mirmanti Cinahya Winursita (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)