Zeily Nurachman: Atasi Dampak Kabut Asap Dengan Alat Sederhana

Oleh Vinskatania Agung A

Editor Vinskatania Agung A

BANDUNG, itb.ac.id - Mengamati data foto satelit Indonesia harian khususnya pada kawasan Sumatera dan Kalimantan, siapa pun tentu menyimpulkan bahwa telah terjadi pembakaran lahan secara luas yang terstruktur, sistematik dan masif. Lahan yang dibakar ini menjadi pemasok utama kabut asap dalam jumlah besar. Kabut yang segera menyebar luas ke area lainnya ini sangat mengganggu dan membuat kawasan menjadi tidak layak huni. 

Menurut para pakar cuaca, fenomena El Nino yang membuat hujan tidak turun di kawasan Indonesia ini, masih akan bertahan hingga Desember. Sehingga diperkirakan pemadaman lahan terbakar ini tidak akan selesai dalam waktu dekat. Jutaan saudara kita di Sumatera dan Kalimantan harus terus hidup bersama asap pekat. Berangkat dari hal itu, Prof. Dr. Zeily Nurachman yang berkecimpung dalam bidang Biokimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB mengusulkan solusi sederhana dengan menciptakan alat yang dinamakan Bunker Perlindungan Asap untuk mengurangi dampak kabut asap kebakaran hutan dan lahan. Alat yang dibuatnya diuji coba langsung ke sebuah sekolah dasar di Padang bersama dengan Tim Alumni Kimia ITB pada Kamis (27/10/2015) lalu.

Solusi Mudah dan Murah
Prof. Zeily menjelaskan konsep pencegahan masuknya asap ke dalam ruangan yaitu melalui penggunaan penyaring untuk menahan partikel debu (PM10) dengan memanfaatkan reaksi senyawa basa dengan SO2 dan NO2 yang banyak terdapat di udara, serta penggunaan alga untuk menghasilkan oksigen. Tiga peralatan utama yang harus disiapkan adalah akuarium, aerator atau alat penghasil gelembung udara dalam air, dan mikroalga. "Kalau tidak ada akuarium, bisa juga memakai ember. Asal alganya bisa tumbuh. Alga ini akan mengikat karbon dioksida dan menghasilkan oksigen," ujar Prof. Zeily.

Mikroalga dimasukkan ke dalam akuarium berisi air yang sudah dipasangi alat penghasil gelembung udara agar menghasilkan oksigen secara alami. Kemudian, alga akan memakan partikel-partikel debu tersebut. Ventilasi ruangan perlu ditutup dengan kain filter yang sudah disemprot air basa atau air kapur agar udara di luar tidak banyak masuk ke dalam ruangan.

Prof. Zeily menyarankan agar memasang dua kipas angin untuk menyaring debu. Menurutnya, indikator kotornya udara dapat diketahui dari warna air di dalam akuarium. Air akuarium akan berwarna hijau apabila partikel debu dalam ruangan pekat. Apabila sudah terlalu pekat, hanya 80 persen air di dalam akuarium yang dapat diganti sebab 20 persen dari air merupakan bibit mikroalga.

Alumni Kimia ITB Uji Coba Langsung di TKP

Berawal dari cuitan gagasan via status di Facebook, ide sederhana ini kemudian ia uji coba langsung ke Sekolah Dasar Negeri Percobaan, Jalan Ujung Gurung Kota Padang, Sumatera Barat. Bersama Tim Solidaritas Alumni Kimia ITB untuk Korban Asap, ia membawa peralatan untuk membangun bungker asap di sekolah tersebut. Setelah dipasangkan alat, halaman sekolah menunjukkan kadar 180 mikrogram per meter kubik pada indikator PM10, sedangkan di dalam kelas yang dipasangi alat indikator PM10 berada pada angka 70-80 mikrogram per meter kubik. Alhasil, alat yang dibuat Zeily terbukti mampu mengurangi konsentrasi aerosol atau partikel debu PM10.

Menurutnya, bungker perlindungan asap ini bisa diduplikasi untuk sekolah lain di Sumatera Barat dan daerah-daerah yang terkena dampak kabut asap. "Silakan ini dibuat di kelas dan rumah. Masyarakat juga dapat berkreasi dalam membuat alat tersebut," ujarnya.


Sumber informasi: nasional.tempo.co dan www.gatra.com
Sumber gambar: www.gatra.com