Penjelasan Ahli ITB Terkait Penanganan Polusi Udara Indonesia yang Memburuk Akibat Kebakaran Lahan Gambut

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) ITB kembali berkolaborasi dengan The Conversation untuk menyelenggarakan seri workshop Rabu (27/7/2022), dengan harapan dapat berbagi ilmu sains dan teknologi mengenai isu-isu terbaru kepada publik. Mengangkat tema “Air Pollution: A Silent Killer”, narasumber workshop ke-7 ini adalah Dr. Windy Iriana, peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB.

Isu polusi udara lingkungan sekitar semakin parah, terutama di Indonesia di mana kebakaran hutan dan lahan yang masif masih sering terjadi serta menghasilkan emisi karbon yang cukup banyak. Belakangan ini, media sosial ramai memperbincangkan buruknya kualitas udara di DKI Jakarta. Seperti yang dikutip oleh perusahaan teknologi kualitas udara Swiss IQAir mengatakan bahwa Jakarta berada di peringkat pertama kota dengan polusi udara konsentrasi PM (Particulate Matter) 2,5 tinggi. Jika tidak diregulasikan, polusi yang dihasilkan memperparah pemanasan global dan perubahan iklim.

Tonton selengkapnya: Dr. Windy Iriana - Air Pollution a Silent Killer (WSL Vol.7 2022)

Sebagai dosen peneliti di Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan) ITB, Dr. Windy menjelaskan bahwa konsentrasi rata-rata PM 2,5 (debu udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron) di Indonesia yang terukur selama 24 jam sebesar 80 ?/m3, jumlah yang sangat tinggi dan melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia di PP 22/2021, bahkan lima kali lebih tinggi dari nilai ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (World Health Organisation).

Karena ukurannya yang sangat kecil, PM 2,5 sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia. Tidak hanya dapat masuk ke paru-paru dan sistem kerja jantung, partikulat ini menyebabkan berbagai penyakit dalam, seperti kanker paru, penyakit jantung dan stroke. Buruknya kualitas udara akibat PM 2,5 juga mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat, khususnya terhadap golongan anak-anak, lansia, serta pengidap asma dan bronkitis.

“Sementara itu, ada saudara-saudara kita di daerah lain yang hampir setiap tahunnya harus menghirup udara 13 kali lebih buruk dari kualitas udara Jakarta,” Dr. Windy memaparkan. Setiap musim kemarau, penduduk Sumatra dan Kalimantan sering merasakan penurunan kualitas udara akibat asap dari kebakaran lahan gambut. Kebakaran September 2019 merupakan salah satu yang terparah; nilai maksimum rata-rata harian konsentrasi PM 2,5 adalah 1100 ?/m3.

Formasi lahan gambut dimulai dari gugur dan tumbangnya daun, ranting atau batang di hutan hujan tropis. Proses ini yang sudah terjadi selama jutaan tahun menyebabkan bagian-bagian tumbuhan ini menumpuk di lantai hutan dan menggenang dari air hujan. Kondisi ini membuat oksigen tidak dapat masuk ke jasad tanaman, dan mikroorganisme membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengurainya dalam kondisi anaerobik. Oleh karena itu, bagian-bagian tumbuhan ini tidak dapat terurai secara sempurna dan mengakumulasi menjadi lahan gambut, tanah organik yang memiliki kandungan karbon yang tinggi.

Ia melanjutkan, kandungan karbon sebanyak ini berasal dari hasil fotosintesis tanaman yang mengikat karbon dioksida di udara, dan sebagian karbon tersebut tersimpan di jasad tanaman. “Tumpukan jasad tanaman tadi sebenarnya sama dengan tumpukan karbon atau biasa disebut dengan carbon pool,” Dr. Windy menambahkan.

Indonesia sendiri mempunyai lapisan gambut yang cukup dalam sampai belasan meter, dan lahannya penting peranannya sebagai salah satu carbon pool terbesar di dunia sebesar 57 Gigaton. Namun, lahan gambut di Indonesia saat ini sedang mengalami degradasi, di mana lahan tersebut yang seharusnya mengikat karbon justru melepaskannya ke atmosfer.

Gangguan terhadap lahan gambut Indonesia ini dimulai sekitar tahun 1970 yang penuh dengan aktivitas penggundulan hutan dan peralihan fungsi kawasan. Selain itu, pembangunan drainase sekitar kawasan menyebabkan muka air lahan gambut turun dan bagian atasnya terekspos kepada oksigen. Ini mengakibatkan degradasi mikroorganisme secara aerobik dan mengemisikan karbon dioksida lebih besar ke atmosfer.

Kondisi lahan gambut yang bertambah kering juga menyebabkan lahan lebih rentan terhadap kebakaran. Diakibatkan oleh kejadian alam dan ulah manusia, kebakaran lahan gambut tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan manusia, tetapi juga bagi kesehatan bumi. Dampak lokalnya mengganggu berbagai aktivitas masyarakat sekitar dalam segi ekonomi maupun kesehatan. Asap kebakaran lahan gambut dapat tertiup ke negara-negara tetangga dan menyebabkan permasalahan regional. Secara skala global, pelepasan karbon dioksida dari kebakaran ini menambah risiko perubahan iklim.

Meskipun krisis situasinya berbahaya, pengukuran emisi lahan gambut saat ini masih terbatas dan dihalangi oleh berbagai tantangan. Biasanya, pengukuran dan prediksi emisi karbon dilakukan melalui satelit dan secara langsung. Tetapi, karakteristik lahan gambut bervariasi secara temporal dan spasial. Metode-metode pengukuran sekarang pun masih ada beberapa kendala di sisi biaya, pengelolaan dan pemeliharaan alatnya.

Menurut Dr. Windy, untuk mendapatkan pengukuran akurat, berbagai metode-metode harus digabung sehingga penilaiannya dapat dilakukan dengan cakupan luas dan kontinu. Hasil pengukuran emisi lahan gambut akan sangat berguna untuk mengevaluasi program restorasi lahan gambut, merencanakan mitigasi resiko, dan menetapkan peraturan lahan gambut.
Ia menegaskan bahwa sorotan publik terhadap kondisi lahan gambut menjadi hal penting untuk melanjutkan dan memasifkan pengukuran emisi karbon lahan gambut di Indonesia.

“Semakin ramai desakan publik pada penanganan karbon akibat gambut, semakin besar sumber daya yang akan dikerahkan untuk menangani masalah kita, masalah Indonesia yang kini sudah menjadi masalah dunia.”

Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)