Pengaruh Gempa Terhadap Gunung Api di Sekitarnya Menurut Volkanolog ITB

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id -- Gempa bumi dengan magnitudo 7.0 skala Richter mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Minggu, 5 Agustus lalu. Sebelumnya juga terjadi gempa dengan kekuatan 6,4 skala Richter di daerah yang sama pada 29 Juli. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 9 Agustus 2018 pukul 17.00 WIB, jumlah korban meninggal dunia akibat gempa adalah 259 orang. Ditambah ratusan orang lainnya luka-luka akibat tertimpa material bangunan yang roboh.

Dua gempa tersebut, menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi Mirzam Abdurrachman, Dr.Eng. ST., MT., dari Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi dan Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB. Apakah Gempa Lombok bisa berpengaruh terhadap gunung api di sekitarnya seperti Gunung Rinjani, Tambora dan Agung?

Kepada humas ITB, 10/8/2018, Dr. Mirzam menyampaikan kejadian gempa di Lombok mengingatkan pada gempa besar Tohoku di Jepang pada 2011 silam. Saat itu gempa berkekuatan 9,0 skala Ritcher menghantam pantai timur Jepang. Beberapa hari sebelumnya gempa-gempa dengan kekuatan yang lebih kecil datang berkali-kali. Setelah mainshock atau gempa utama, terjadi gempa-gempa kecil dengan kekuatan yang semakin menurun dan akhirnya benar-benar berhenti, karena bumi telah mencapai kestabilannya.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyatakan bahwa gempa 5 Agustus di Lombok adalah gempa utama. Belajar dari pengalaman gempa Tohoku, Dr. Mirzam berharap semoga sesudah gempa utama di Lombok tidak ada lagi gempa besar yang akan terjadi.

Sementara itu, lanjutnya, di dekat titik gempa Lombok terdapat beberapa gunung api aktif seperti Gunung Rinjani di Lombok, Gunung Agung di Bali, dan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Bagaimana dengan efek gempa besar dan gempa-gempa susulan bagi gunung api aktif di sekitar Pulau Lombok?

Untuk menjawab seberapa jauh gempa tektonik berdampak pada sebuah gunung api, kejadian gempa tektonik yang pernah terjadi di Indonesia atau pun gunung api lainnya di dunia bisa dijadikan catatan dan pembelajaran," katanya. 

Kasus Gunung Agung.
Dr. Mirzam menjelaskan, pada Selasa 3 Juli 2018 pukul 9:32 WITA, Gunung Agung di Bali kembali diketahui telah mengeluarkan abu vulkanik. Beberapa menit sebelumnya gempa tektonik berkekuatan 4,9 skala Richter terjadi di laut pada jarak 110 kilometer di selatan Denpasar dengan kedalaman 24 km.

Menurutnya, gempa tektonik di sekitar gunung api yang kritis, yaitu gunung api dalam status siaga atau awas yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan aktivitas seperti gempa vulkanik, keringnya mata air, peningkatan pelepasan gas maupun letusan-letusan kecil, dapat mempengaruhi aktivitas gunung api.

Dalam keadaan kritis, gas terlarut ataupun volume magma yang banyak, sangat mudah dikeluarkan jika diberi pemantik, seperti halnya gempa bumi.

Kasus Gunung Fuji.
Dr. Mirzam mengatakan sebagai contoh di belahan dunia lain, adalah bagaimana gempa tektonik pernah tercatat menyebabkan sebuah gunung api meletus. 

Gunung Fuji di Jepang, yang dikenal begitu indah karena puncaknya ditutupi salju dan dijadikan ikon masyarakat Jepang pernah menyimpan cerita kelam beberapa abad lalu yang mungkin tidak banyak diketahui oleh orang awam.

"Pada 28 Oktober 1707, sebuah gempa besar berkekuatan 8,6 skala Richter menghajar pantai Jepang sepanjang Nakai Megathrust, barat daya Jepang. Ini adalah salah satu gempa terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Jepang yang memakan korban hingga lebih dari 5.000 jiwa. Kekuatan gempa tersebut kekuatannya baru bisa dikalahkan oleh gempa Tohoku pada 2011," ucapnya.

Berdasarkan penelitian dari Christine Chesley dan kawan-kawan pada 2012 mencatat, bahwa gempa tektonik pada 20 Oktober 1707 telah menyebabkan magma di bawah Gunung Fuji, yang terletak pada kedalaman sekitar 20 km, tertekan dan bergerak naik menuju dapur magma yang lebih dangkal pada kedalaman sekitar 8 km.
 
"Sayangnya tidak ada tempat yang cukup bagi kedua magma yang bersatu tersebut, maka kelebihan volume ini pun menyebabkan letusan Gunung Fuji dengan Volcanic Explosivity Index 5," tutur Dr. Mirzam.

*Ilustrasi gempa bumi mempengaruhi letusan gunung api dalam kasus fuji diambil dari chesley (2012) sebagai berikut; (a) Sebelum gempa terjadi; (b) Saat gempa terjadi tahun 1707; (c) Efek gempa menyebakan terjadi pencampuran magma dari dua kedalaman berbeda; dan (d). Letusan tidak terelakan terjadi.

Menurutnya ada yang menarik dari letusan saat itu. Letusan tersebut dicirikan oleh keluarnya material yang hanya terdiri dari abu vulkanik tanpa dibarengi keluarnya meterial pijar lava. Kondisi ini sebagai penanda bahwa telah terjadi perubahan tekanan dalam dapur magma Gunung Fuji yang terjadi dengan sangat tiba-tiba.
 
Berkaca pada kasus Gunung Fuji, katanya, maka letusan Gunung Agung di Bali pada 3 Juli 2018 pascagempa tektonik pun menyajikan fenomena letusan yang sama, lontaran material vulkanik berupa abu tanpa diikuti keluarnya aliran lava. 

Gunung Fuji 1707 dan Gunung Agung 2018, berada dalam kondisi kritis sebelum gempa tektonik terjadi, maka baik letusan Gunung Fuji pada 1707 ataupun Gunung Agung pada 2018 adalah contoh kasus sebuah erupsi gunung api yang kritis bisa dipicu oleh gempa tektonik.

"Bagaimana dengan Rinjani dan Tambora? Gempa tektonik tidak selalu menyebabkan gunung api meletus. Jikapun letusan terjadi, maka kondisi sebuah gunung api harus dalam kritis. Jika sebuah gunung api dalam keadaan normal atau stabil, gempa tektonik biasa tidaklah cukup menyebabkan suatu gunung api meletus," katanya.

Disampaikan Dr. Mirzam, gempa tektonik akan mengguncang, memperburuk kondisi dan akhirnya memberikan jalan keluar bagi magma ke permukaan saat kondisi sudah melampui batas kestabilannya. 

"Rinjani dan Tambora yang secara posisi geografis lebih dekat dengan pusat gempa tektonik yang terjadi di Pulau Lombok kemarin dibandingkan Agung, sepertinya tidak akan bergeming, karena keduanya dalam keadaan stabil," pungkasnya.