2 Dosen SAPPK ITB Berpameran di ARCH ID, Ajak Pentingnya Berjalan Kaki dan Merawat Tempat
Oleh M. Naufal Hafizh
Editor M. Naufal Hafizh
BANDUNG, itb.ac.id - Dua dosen dari Prodi Arsitektur di bawah Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ir. Christina Gantini, M.T. dan Widiyani, S.T., M.T., Ph.D. turut berpartisipasi dalam pameran arsitektur bergengsi ARCH ID yang diselenggarakan di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, Tangerang, pada 22-25 Februari 2024.
ARCH ID merupakan forum arsitektur dan pameran dagang tahunan yang diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) bekerja sama dengan PT CIS Exhibition. Kegiatan ini menjadi salah satu yang paling bergengsi dan terbesar di Indonesia. Tahun ini, ARCH ID mengangkat tema "Placemaking: Tolerance". Untuk gelaran yang keempat kalinya, ARCH ID dihadiri 22.300 pengunjung.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Christina dan Widiyani, Ph.D., memamerkan karya instalasi berjudul “WalkscapeXperience”. Karya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para pengunjung akan pentingnya berjalan kaki, serta merawat jalur pejalan kaki agar ruang tersebut dapat digunakan dengan nyaman oleh seluruh lapisan masyarakat.
Karya instalasi ini dibangun berkat kerja sama dengan PT Paragon Corp. Kesediaan PT Paragon Corp. untuk terlibat dan mengedukasi pengunjung tentang pentingnya berjalan kaki dan juga memberi perhatian terhadap reuse dan recycle dari berbagai produk yang mereka miliki, sejauh ini memiliki arti dan nilai penting, dan sebagai bukti keterlibatan dunia industri dalam berbagai kegiatan yang mengedukasi masyarakat, dengan mengedepankan semangat keberlanjutan (sustainability). PT Paragon Corp., yaitu CREM Paragon dan Pack Pro berkontribusi membangun ide desain instalasi yang digagas Widiyani, Ph.D. seluas +30 m2 dengan menggunakan material dari 27.000 lebih kemasan lipstik bekas dan lebih dari 70 kg panel plastik daur ulang.
Sebelum memasuki instalasi, pengunjung melihat peta Kota Jakarta berukuran besar. Dengan peta tersebut, mereka dapat mengukur dan membandingkan seberapa jauh langkah mereka berjalan di pameran dan dikonversikan ke dalam skala peta.
“Dengan begitu, mereka tahu bahwa ketika di pameran, misalnya, sudah jalan 3 km. Ternyata kalau berjalan di Jakarta, jalan 3 km itu bisa bolak-balik dari Bundaran HI ke stasiun Kuningan. Selama ini kan kita tidak tahu, jadi kami ingin menumbuhkan kesadaran mereka tentang itu,” ujar Dr. Christina.
Menjelajahi Dua Jalur Pejalan Kaki di Jakarta
Setelah itu, pengunjung dapat memasuki instalasi. Instalasi tersebut terdiri atas dua bagian yang memberikan pengalaman berbeda bagi pengunjung. Pertama, area perkampungan dan perumahan di gang kecil di daerah Jakarta. Kedua, trotoar Jakarta yang sepi pejalan kaki dan masih memiliki banyak ruang untuk perbaikan.
Melalui instalasi ini, para pengunjung merasakan atmosfer yang berbeda. Mereka melalui tempat yang tertata dan tidak, yang memiliki aktivitas dan lengang, hingga daerah yang penuh dengan distraksi maupun sebaliknya. “Kemudian kami menanyakan kepada pengunjung mana yang mereka pilih. Ternyata kecenderungannya pengunjung lebih memilih dan suka dengan daerah yang lebih ramai, banyak yang bisa dilihat, dan lebih ‘hidup’,” ujar Widiyani, Ph.D.
Melalui ruang ini, pengunjung secara tidak langsung didorong untuk memahami placemaking itu sendiri. “Placemaking itu mengubah ruang menjadi tempat. Artinya, tempat bisa terjadi jika ada aktivitas. Ketika orang yang berada di ruang itu merasa memiliki tempat, diharapkan mereka turut andil dalam merawat, menjadikannya nyaman, dan kegiatan yang dilakukan lebih produktif,” ujar Widiyani, Ph.D.
Dr. Christina menegaskan perbedaan antara ruang dan tempat dan bagaimana placemaker mengubahnya. “Seperti ruang makan, ruang itu bisa tidak ada apa-apa. Tetapi ketika ada orang makan di situ, berkegiatan di situ, jarang kita menyebutnya ruang makan, tetapi tempat makan. Tujuannya lebih dari sekadar tempat, orang jadi merasa memiliki sehingga akan merawat dan tempat itu tidak akan terabaikan,” ujarnya.
Kemudian, melalui perbedaan dua area tadi, keduanya ingin mengguggah pengunjung bahwa tidak semua ruang harus bersih dan terdesain. Placemaking dinilai berhasil ketika ada aktivitas atau kehidupan di ruang tersebut.
Keduanya yang mengampu kelas Placemaking and Social Experiments ini banyak mempelajari dan bereksplorasi untuk menghidupkan ruang-ruang mati. “Kelas kami banyak berpikir tentang hal-hal bagaimana menghidupkan ruang-ruang yang mati seperti taman yang sepi pengunjung, bagaimana fasilitas publik yang tidak digunakan bisa diangkat dan menarik perhatian mereka bahwa ini adalah hal penting,” ujar Dr. Christina.
Karya instalasi ini mendapatkan dukungan penuh dari Prodi Arsitektur ITB, PT Paragon Corp, CREM Paragon, dan PackPro. Para sponsor lain dalam instalasi ini adalah Signify dan NCG Technology, serta Ruang Ketiga.
Ikuti aktivitas kelas dan berbagai karya lainnya melalui Instagram Placemaking and Social Experiments: placemaking.id.