Amien Rais dalam Studium General Gamais ITB
Oleh
Editor
BANDUNG, itb.ac.id - Dari yang semula dijadwalkan pada pukul 13.00 WIB, Amien Rais datang lebih awal pada pukul 10.00 WIB di Aula Barat ITB (27/8). Dimoderatori oleh Presiden Keluarga Mahasiswa (KM) ITB, Dwi Arianto Nugroho, ia menjadi pembicara dalam studium general yang diselenggarakan oleh keluarga mahasiswa Islam (Gamais) ITB yang bertema “Membangun Karakter Pemuda”.
Dalam ceramahnya yang berlangsung kurang lebih dua jam, Amien memberikan wacana nasionalisme dan pembangunan karakter kepada para mahasiswa muslim ITB dari sudut pandang agama. Amien mengungkapkan betapa perlunya sebuah negara memiliki kaum muda yang memiliki pemikiran revolusioner, yang semoga bisa dipertahankan hingga usia lanjut. “Kalau ada orang berumur 25 tahun berpikir revolusioner, itu normal. Kalau ada orang berumur 45 tahun berpikir status quo, itu sangat normal. Namun ketika ada orang berumur 25 tahun sudah berpikir status quo, itu abnormal. Bagaimana ketika ada orang berumur 45 tahun namun berpemikiran revolusioner? Itu bukan abnormal, tetapi hal bagus yang patut dipertahankan selama negara ini pelayanan masyarakatnya masih belum memadai dalam hal pendidikan, sosial, dan segala macamnya.”
Amien juga menyinggung tentang peran internasional Indonesia yang selama ini tidak signifikan, “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, jumlah penduduknya dua ratus sekian juta-lebih besar daripada Jepang-namun bangsa Indonesia adalah bangsa ‘invisible’, bangsa yang tidak nampak. Peran regional dan internasionalnya antara ‘on’ dan ‘off’, lebih sering ‘off’-nya. Kita sekarang ini memang sedang ‘termehe-mehe’ di urutan yang paling belakang di antara bangsa-bangsa.” Ia lantas membandingkan Indonesia dengan negara-negara Asia lain seperti India dan Cina, yang dianggapnya lebih maju karena kepemilikan karakter bangsa yang pantang menyerah.
Tentang ITB sebagai institusi berbasis teknologi, Amien menyinggung tentang kedudukan dan peran ITB dalam pembangunan bangsa. “Anda yang berada di ITB jangan hanya melihat kepada sesama kampus di Indonesia. Di Indonesia, memang ITB terbaik, tetapi jangan sampai ITB cuma menjadi jago kandang. Karena kunci kemajuan negara ini terletak di fakultas-fakultas teknologi, bukan di fakultas-fakultas sastra, politik, antropologi, dan semacamnya.”
Lebih jauh, Amien juga mengkritik pemerintah yang dinilainya kurang arif dalam mengelola sumber daya alam, “Mengapa pemerintah tidak dapat memenuhi alokasi 20% APBN untuk pendidikan? Karena pemerintah tidak punya uang. Mengapa persenjataan kita usang dan kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga? Karena pemerintah tidak punya uang. Mengapa hutan-hutan di Kalimantan dieksploitasi dan mengalami deforestasi oleh korporasi asing? Karena pemerintah tidak punya uang. Mengapa perompak-perompak di laut nusantara kita tidak dapat kita tangkap? Karena pemerintah kita tidak punya uang untuk mempersenjatai TNI-AU dan polisi patroli. Mengapa kedutaan-kedutaan kita di Eropa dan Eropa Barat kusam dan tidak dipugar? Karena pemerintah tidak punya uang. Mengapa pemerintah tidak punya uang? Karena sebagian besar sumber daya alam kita sudah kita kontrakkaryakan kepada korporasi asing. Mereka dapat ‘lion share’, sedangkan kita dapat ‘share’ kucing.”