Analisis Beban Mental Penggunaan Sistem Pembelajaran Secara e-Learning
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Dalam rangka mengantisipasi penyebaran COVID-19, kegiatan belajar-mengajar baik di sekolah sampai perguruan tinggi kini dilakukan secara daring. Institut Teknologi Bandung sendiri telah memberlakukan kuliah secara daring per tanggal 16 maret 2020 lalu kemudian diperpanjang sebagaimana disampaikan dalam Surat Edaran No.123/I1.B01/PP/2020 tentang Perpanjangan Masa Kuliah Daring.
Disamping fleksibilitas pembelajaran secara daring, ada pula sisi lain yang perlu mendapatkan perhatian serius dari penggunaan e-Learning tersebut, salah satunya beban mental yang dirasakan oleh pengguna. Dosen Teknik Industri, Fakultas Teknik Industri ITB Ari Widyanti, S.T., M.T., Ph.D., bersama dengan mahasiswanya Syalom Hasudungan, S.T., bekerja sama dengan dosen dari Incheon National University, Jaehyun Park (associate professor) melakukan penelitian mengenai kesiapan dan persepsi beban mental penggunaan e-Learning di antara mahasiswa Indonesia. Penelitian ini telah dipublikasikan pada tahun 2020 di jurnal internasional Knowledge Management & E-Learning dengan judul “e-Learning and Perceived Learning Workload among Students in an Indonesian University”.
Dijelaskan Ari Widyanti, e-Learning merupakan sistem pembelajaran daring interaktif yang telah diterapkan pada level institusi pendidikan tinggi, sistem pembelajaran ini memiliki kelemahan yaitu mengurangi proses sosialisasi antarindividu karena berkurangnya proses komunikasi secara face-to-face. Oleh karena itu, blended learning diusulkan untuk mengatasi kelemahan pada proses pembelajaran melalui e-Learning dan di kelas.
“Blended learning merupakan pembelajaran e-Learning yang dilakukan secara interaktif. Seiring berkembangnya waktu, penggunaan blended learning dan e-Learning terus berkembang karena fleksibilitasnya yang bisa menyesuaikan tempat, waktu, dan kecepatan pembelajaran,” ujarnya sebagaimana disampaikan dalam jurnal tersebut.
Beban mental didefinisikan sebagai kemampuan kognitif seseorang terhadap beban pekerjaan tertentu, ketika seseorang merasa beban kerja yang diberikan melampaui dari kapasitas secara kognitif dapat dikatakan beban mental yang dialami tinggi. Dalam proses pembelajaran e-Learning penggunaan teknologi menjadi kunci utama, ketika tidak memiliki kemampuan pengoperasian teknologi yang memadai akan menjadi tekanan bagi pengguna untuk menggunakan e-Learning yang berimplikasi pada beban mental tinggi. “Selain itu, rasa kantuk juga menjadi konsekuensi pembelajaran e-Learning karena minimnya komunikasi secara tatap muka. Rasa kantuk ini akan berakibat pada menurunnya atensi dan perfomansi pembelajaran,” jelas Ari.
Mengurangi Beban Mental
Salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban mental dan rasa kantuk selama proses pembelajaran adalah meningkatkan tingkat kesiapan, baik itu secara mental maupun fisik. Salah satu hal yang bisa dilakukan dengan menyiapkan teknologi dan mempersiapkan koneksi internet yang digunakan secara benar dan lancar, mengingat proses pembelajaran e-Learning dilakukan secara self-learning. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan 3 parameter dengan 3 instrumen yang berbeda yaitu tingkat kesiapan (readiness), rasa kantuk (sleepiness), dan persepsi beban mental subjektif dengan NASA TLX, dengan melibatkan 51 mahasiswa yang melakukan pembelajaran secara e-Learning dan di kelas.
Ari Widiyanti mengatakan, hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kesiapan (readiness) antara pembelajaran e-Learning dan di kelas, hal ini bisa dijustifikasi karena responden yang terlibat adalah mahasiswa ITB yang umumnya sudah mahir menggunakan teknologi untuk e-Learning. Tingkat kantuk (sleepiness) pada proses pembelajaran e-Learning lebih jauh dibandingkan di kelas diukur dengan KSS (Karolinska Sleepiness) Scale dan beban mental pengguna lebih tinggi saat pembelajaran e-Learning dibandingkan dengan di kelas.
Ia mengungkapkan, beban mental yang tinggi bisa dikarenakan ketidakhadiran dosen di kelas, karena biasanya dosen akan membatasi materi yang dianggap penting untuk dipelajari sedangkan saat proses pembelajaran e-Learning mahasiswa harus menentukan secara mandiri materi yang perlu dipelajari dan tidak.
“Selain itu, menurut Sulistyo-Basuki tahun 2007 mengatakan bahwa orang Indonesia cenderung untuk melakukan pembelajaran secara langsung dibandingkan melalui e-Learning, karena karakter Indonesia yang lebih senang berkomunikasi langsung dibandingkan dengan menulis ataupun secara virtual. Jika hasil pengukuran beban mental dengan NASA TLX, dimensi perfomance dan frustration memiliki perbedaan signifikan antara pembelajaran e-learning dan di kelas dimana pembelajaran e-Learning memiliki angka yang lebih tinggi,” ungkapnya.
Reporter: Diah Rachmawati (Teknik Industri, 2016)