Bahan Bakar Alternatif Murah Pengganti Solar: Tinggal Tanam!
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Siang hingga petang kemarin, auditorium Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB tampak dipenuhi oleh banyak peneliti ITB, petinggi pemerintahan, anggota DPR, wartawan, peneliti dari LIPI dan universitas lain, dan peneliti dari Jepang. Tanggal 18 Februari 2005, bahan bakar baru yang ramah lingkungan diperkenalkan. Bahan bakar yang dikembangkan oleh para peneliti di ITB dan Mitsubishi Research Institute ini hanya menggunakan minyak hasil ekstraksi pohon jarak atau secara ilmiah dikenal dengan jatropha. Minyak dari biji jarak ini dapat digunakan sebagai pengganti langsung minyak solar yang digunakan untuk mesin diesel.
Pengembangan proyek penelitian ini dimulai tahun 2004, dengan disponsori oleh NEDO, New Energy and Technology Development Organization. Sebagai daerah penyuplai biji jarak, dipilihlah NTT karena memang pohon jarak ini banyak tumbuh liar di NTT. Selama ini, selain tumbuh liar di banyak lahan tidur di NTT, oleh masyarakat NTT, pohon jarak hanya digunakan sebagai tanaman pagar. "Dulu juga sempat menjadi alat penerangan," ujar Frans Lebu Raya, Wakil Gubernur NTT yang hadir, "Biji pohon jarak ditusuk-tusuk seperti sate lalu dibakar." Secara budaya, pohon jarak memang sudah akrab dengan masyarakat NTT. Selain ini, pohon jarak juga diketahui memeiliki daya pengobatan, terutama untuk penyakit kulit, mengurangi rasa sakit, dan obat pencahar. Namun, kehadiran minyak tanah dan solar yang disubsidi membuat masyarakat NTT -dan masyarakat Indonesia keseluruhan- melupakan tumbuhan yang menyimpan potensi besar ini.
Hasil uji kinerja minyak jarak ini memang menakjubkan. Minyak jarak murni (straight jatropha oil) BD 100 akan memiliki kinerja yang sama dengan minyak solar. Pihak pemerintah pusat sendiri, kemarin, antara lain diwakili oleh Dr Yogo Pratomo, Dirjen Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi serta Dr. Luluk Sumiarso, Sekretaris Jentral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, mengungkapkan janji bahwa pemerintah akan membantu pengembangan dan sosialisasi bahan bakar alternatif ini. Hal ini terutama didukung oleh harga produksi minyak jarak yang bersaing dengan harga minyak solar tanpa subsidi. Harga produksi minyak jarak ini maksimum Rp 1000/kg, sementara itu, harga solar tanpa subsidi mencapai Rp 1600/kg. "Yang perlu dipikirkan tentunya tinggal kestabilan suplai minyak jarak ini," ungkap Yogo.
Mindu Sianipar, ketua komisi IV DPR yang salah satu tugasnya mengurus masalah pertanian juga sangat mendukung dan berterimakasih pada para peneliti dari ITB dan Mitsubishi. "Ini bukan cuma masalah bisnis," ujar Mindu, "tapi juga membantu masyarakat desa." Dalam kesempatan ini, Mindu juga berharap penggunaan minyak jarak untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel kapal-kapal nelayan. Hal yang perlu dipikirkan juga adalah payung hukum bagi produk ini. "UU Migas akan membuat Pertamina mengintervensi produk ini," ujar Mardjono, salah satu anggota komisi IV DPR yang lain, "Seharusnya keuntungan produk ini bisa digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin pedesaan."
Penelitian yang dikepalai oleh Dr. Robert Manurung, dari Departemen Teknik Kimia ITB ini merupakan salah satu dari beberapa energi alternatif yang memang dikembangkan oleh ITB. "Kami mengembangkan juga bahan bakar alternatif lain. Misalnya biodiesel dan bahan bakar etanol dari singkong," ujar Dr. Iman Reksowardojo, kepala Laboratorium Motor Bakar dan Propulsi, Departemen Teknik Mesin ITB, yang juga salah satu anggota tim peneliti minyak jarak ini.
Menurut Robert, keunggulan utama minyak jarak adalah pengolahannya yang murah dan sederhana. "Mesin biodiesel pun sulit pengoperasiannya," tandasnya, "Instalasinya tidak bisa dilakukan oleh petani. Dengan minyak jarak, tidak perlu ganti mesin, cukup dengan mesin diesel biasa. Ganti saja minyak solar dengan diesel, itu saja."
Satu lagi sumbangan besar dari ITB untuk bangsa terungkap kemarin. Di tengah isu pengurangan subsidi BBM, bahan bakar murah dan ramah lingkungan karya peneliti ITB ini akan memberikan angin segar bagi bangsa Indonesia, khususnya masyarakat ekonomi lemah yang tergantung dengan solar, seperti nelayan untuk kapal motornya dan petani untuk penggilingan padinya. Sementara itu, lahan tidur, khususnya di bagian-bagian Indonesia Timur akan dapat difungsikan sebagai daerah budidaya jarak yang teroganisir. Tentunya ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah itu. Tidak perlu menambang lagi. Cukup menanam saja!