Biogas dari Bungkil Biji Jarak Pagar, Inovasi Terbaru dari Teknik Kimia ITB
Oleh Muhammad Arif
Editor Muhammad Arif
Kelompok Riset Biodiesel ITB baru-baru ini berhasil membuat BIOGAS DARI BUNGKIL (= AMPAS PERAHAN) BIJI JARAK PAGAR. Inovasi ini berangkat dari ide bahwa limbah perahan biji jarak untuk biodiesel dapat dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar bagi petani jarak. "Membuat minyak dari jarak bagi petani itu tidak murah, sedangkan mereka sendiri juga membutuhkan bahan bakar bagi keperluan sehari-hari. Dengan biogas ini, mereka bisa jual seluruh minyak yang mereka dapat dan memanfaatkan limbahnya untuk memasak," jelas Tatang H. Soerawidjaja, sang kepala kelompok riset Biodiesel ITB. Penggunaan biogas sebagai bahan bakar rumah tangga juga jauh lebih nyaman dibandingkan menggunakan minyak jarak pagar.
Kelompok ini sekarang telah membangun satu unit pilot pembangkit biogas di lantai dasar gedung Teknik Kimia. Unit pembangkit biogas tersebut terdiri atas reaktor/generator, kotak pemasukan suspensi, penampung gas plastik dan kompor biogas (terlihat dalam foto). "Kompornya didesain lebih sederhana daripada kompor gas elpiji," kata Ibrahim lagi. Kompor tersebut memiliki tuas seperti kompor gas biasa untuk menyalakan dan mematikan api. Reaktor biogas tersebut saat ini menghasilkan sekitar 1 m3 biogas/hari dengan kapasitas 360 liter (terdiri dari 2 drum yang disambung), yang diberi pasokan harian berupa campuran/adonan 1,2 kg bungkil jarak pagar ditambahkan 12 liter air. Awalnya, reaktor ini diinisiasi dengan kotoran sapi yang dipakai untuk menghasilkan biogas. "Ini dilakukan karena biji jarak tidak memiliki konsorsium bakteri yang mengubah senyawa dalam bungkil menjadi gas. Jadi, setelah bakterinya teraklimatisasi baru kami masukkan bungkil sedikit demi sedikit," jelas Pak Tatang lagi. Dalam tiga hari, gas mulai dihasilkan dari reaktor dan diuji. "Pengujian gas dan pH dilakukan tiap tiga hari sekali, dan sampai sejauh ini pH yang terukur 8 (basa-red) dan 52% gas yang dihasilkan CH4," terang Ibrahim, penanggungjawab unit pembangkit biogas.
Seperangkat unit pembangkit biogas ini bernilai satu setengah juta rupiah. Memang cukup mahal bagi kantong petani, tapi Pak Tatang mengharapkan adanya subsidi dari koperasi desa atau pihak lain. Harga tersebut bisa ditekan dengan penjualan kompornya saja. "Reaktor dan penampung gasnya kan bisa dibuat sendiri, harapannya kompornya pun bisa diproduksi secara massal di Bandung. Nanti, kami bisa mengajarkan teknik-teknik pengoperasiannya," tutur Pak Tatang lagi.
Unit pembangkit biogas yang dikembangkan juga mampu memaksimalkan manfaat (ekonomi) biji jarak pagar bagi para petani/pekebunnya. Jika petani jarak memiliki 2500 pohon jarak pagar yang ekivalen dengan satu hektar lahan, maka biji jarak yang diperoleh kira-kira 4-5 ton dan akan diperoleh minimum 3,5-3,75 ton bungkil. "Satu rumah membutuhkan 2,5 kg bungkil dan 25 liter air dalam sehari untuk menjalankan unit pembangkit biogas dengan kapasitas reaktor 1,5 m3," terang dosen Teknik Kimia ini lagi. Estimasi kebutuhan selama setahun menunjukkan bahwa petani jarak hanya membutuhkan kurang dari 1 ton atau 912,5 kg bungkil biji jarak untuk bahan baku biogas. Sehingga, banyak sisa bungkil yang bisa dijual lagi untuk bahan baku unit yang sama.
Kelompok ini sekarang telah membangun satu unit pilot pembangkit biogas di lantai dasar gedung Teknik Kimia. Unit pembangkit biogas tersebut terdiri atas reaktor/generator, kotak pemasukan suspensi, penampung gas plastik dan kompor biogas (terlihat dalam foto). "Kompornya didesain lebih sederhana daripada kompor gas elpiji," kata Ibrahim lagi. Kompor tersebut memiliki tuas seperti kompor gas biasa untuk menyalakan dan mematikan api. Reaktor biogas tersebut saat ini menghasilkan sekitar 1 m3 biogas/hari dengan kapasitas 360 liter (terdiri dari 2 drum yang disambung), yang diberi pasokan harian berupa campuran/adonan 1,2 kg bungkil jarak pagar ditambahkan 12 liter air. Awalnya, reaktor ini diinisiasi dengan kotoran sapi yang dipakai untuk menghasilkan biogas. "Ini dilakukan karena biji jarak tidak memiliki konsorsium bakteri yang mengubah senyawa dalam bungkil menjadi gas. Jadi, setelah bakterinya teraklimatisasi baru kami masukkan bungkil sedikit demi sedikit," jelas Pak Tatang lagi. Dalam tiga hari, gas mulai dihasilkan dari reaktor dan diuji. "Pengujian gas dan pH dilakukan tiap tiga hari sekali, dan sampai sejauh ini pH yang terukur 8 (basa-red) dan 52% gas yang dihasilkan CH4," terang Ibrahim, penanggungjawab unit pembangkit biogas.
Seperangkat unit pembangkit biogas ini bernilai satu setengah juta rupiah. Memang cukup mahal bagi kantong petani, tapi Pak Tatang mengharapkan adanya subsidi dari koperasi desa atau pihak lain. Harga tersebut bisa ditekan dengan penjualan kompornya saja. "Reaktor dan penampung gasnya kan bisa dibuat sendiri, harapannya kompornya pun bisa diproduksi secara massal di Bandung. Nanti, kami bisa mengajarkan teknik-teknik pengoperasiannya," tutur Pak Tatang lagi.
Unit pembangkit biogas yang dikembangkan juga mampu memaksimalkan manfaat (ekonomi) biji jarak pagar bagi para petani/pekebunnya. Jika petani jarak memiliki 2500 pohon jarak pagar yang ekivalen dengan satu hektar lahan, maka biji jarak yang diperoleh kira-kira 4-5 ton dan akan diperoleh minimum 3,5-3,75 ton bungkil. "Satu rumah membutuhkan 2,5 kg bungkil dan 25 liter air dalam sehari untuk menjalankan unit pembangkit biogas dengan kapasitas reaktor 1,5 m3," terang dosen Teknik Kimia ini lagi. Estimasi kebutuhan selama setahun menunjukkan bahwa petani jarak hanya membutuhkan kurang dari 1 ton atau 912,5 kg bungkil biji jarak untuk bahan baku biogas. Sehingga, banyak sisa bungkil yang bisa dijual lagi untuk bahan baku unit yang sama.