Bisnis Ekonomi Halal di Indonesia Jadi Hal Legit

Oleh Vinskatania Agung A

Editor Vinskatania Agung A

BANDUNG, itb.ac.id - Indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak, malah mendapatkan pasokan makanan halal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Ini terjadi karena Indonesia belum sepakat terhadap standard halal yang ditetapkan. Isu mengenai kehalalan ini kian menjadi penting karena kini Indonesia semakin dibidik sebagai target segar moda perekonomian oleh dunia. Dalam rangka memaparkan realita yang ada, Dr. Anton Apriyantono berkesempatan memberi kuliah umum dalam mata kuliah Studium Generale di Aula Barat ITB pada Rabu, 27 Januari 2016 lalu. Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu ini membahas mengenai "Peluang dan Tantangan Bisnis dan Ekonomi Halal di Indonesia".

Napak Tilas Perhatian Kehalalan
Isu mengenai kehalalan mulai merebak di tahun 1988 saat pengetahuan akan legalitas produk halal masih minim. Dibentuklah Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-Obatan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), sebuah majelis sertifikasi halal. Namun pada saat itu regulasi belum mulai ditegakkan. Di tahun 1999 Anton menyuarakan mengenai sistem halal yang berdampak pada dibuatnya 7 standard halal oleh MUI. Ditambah lagi, di tahun 2001 merebak kasus tidak halalnya salah satu penyedap rasa terkenal yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat. Hal ini yang memacu Indonesia untuk mengembangkan sertifikasi halal.

Halal selalu disandingkan dengan thoyyib. Thoyyib berasal dari Bahasa Arab yang berarti aman, sehat, dan bergizi. Alasan keharusan akan kehalalan suatu produk akan menjadi rumit jika dilabeli dengan hal-hal kompleks. Secara sederhana, dalam ajaran agama Islam, halal adalah suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Makanan haram belum tentu benar-benar membawa kerugian, namum keyakinan yang perlu dikaji dan ditanamkan adalah manfaatnya lebih kecil dari kerugiannya. Sayangnya, masyarakat muslim sendiri belum membuka mata terhadap hal ini. Masyarakat muslim kurang memiliki pemahaman dari sisi syariah, pengatahuan kemajuan teknologi, dan pemahaman atas realitas pasar. "Contohnya, toko roti yang jelas-jelas belum bersertifikasi, masyarakat tetap banyak mengonsumsi," kata Anton.

Tantangan sebagai Peluang
Bicara produk halal, menurut Anton, bukan saja menganai makanan, melainkan juga obat, kosmetika, pembiayaan, bahkan juga wisata halal. Data menunjukkan nilai transaksi produk halal di tahun 2005 diperkirakan mencapai $ 2.1 triliun. Permintaan produk halal kian meningkat seiring bertambahnya waktu dan populasi muslim. Pada tahun 2009 tercatat ada sekitar 1.82 milyar muslim di dunia, diproyeksikan pada tahun 2025 penduduk muslim akan mencakupi 30 % dari penduduk dunia.

Indonesia sendiri menyimpan potensi besar terkait hal ini. "Negara kita kaya akan SDA dan SDM, memiliki poulasi muslim terbesar di dunia, dan memiliki dukungan pemerintah berupa UU Jaminan Halal  yang telah terbentuk beserta dengan LPPOM MUI. Semua sudah ada," tukas Anton. Tantangan terbesar Indonesia, menurut Anton, adalah pelaksanaan hal teknis seperti regulasi yang meliputi sistem sertifikasi, pengawasan, dan pembinaan. Selain itu, Indonesia juga belum memiliki Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan negara lain, infrastuktur industri, dan kemudahan akses pada bahan baku industri yang halal, thoyyib, dan relatif murah. "Setiap tantangan merupakan peluang bagi kita, sehingga kita bisa menyiapkan diri," tambahnya.

"Sistem sertifikasi yang ada harus disempurnakan. Ini berarti harus ada Komite Akreditasi Halal yang bertugas mengakreditasi lembaga pemeriksa. Lembaga sertifikasi juga harus dipisah dengan konsultan. Standard halal dan sistem jaminan halal serta standard lainnya yang diperlukan harus diangkat menjadi SNI agar memiliki kekuatan hukum positif. Ini yang bisa dibawa menjadi modal MRA dengan negara lain," jelas Anton.

Lembaga sertifikasi atau pemeriksa halal perlu melakukan pemeriksaan rutin dan sampling. Di samping itu, pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama, menurutnya, lebih cocok untuk pengawasan dan pembinaan. Sementara itu, pemerintah daerah dapat berperan dalam melakukan pembinaan yang lebih intens. Pelaksanaan ini juga memerlukan peran serta masyarakat dalam edukasi dan advokasi halal.

Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia
Banyak pihak yang menginginkan Indonesia untuk menjadi pusat halal dunia. Namun, kita banyak didahului oleh Malaysia. Semua pemangku kepentingan perlu memiliki komitmen yang sama besar untuk mewujudkan hal ini, baik dari pihak industri, ilmuwan, masyarakat, pelaku usaha, dan khususnya pemerintah. Pemerintah harus memberi pelayanan terbaik, memenuhi infrastuktur legislasi dan kebijakan yang diperlukan. Tidak kalah pentingnya, pemerintah harus menyediakan anggaran khusus untuk riset halal.