Case Conference Pendamping Sebaya ITB Berikan Perspektif Baru dalam Promosi Kesehatan Mental Mahasiswa
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Direktorat Kemahasiswaan ITB melalui layanan bimbingan konseling mengadakan acara Case Conference Pendamping Sebaya ITB pada Rabu (21/12/2022). Acara tersebut merupakan wadah berbagi pengalaman dan evaluasi dari keberjalanan proses pendampingan mahasiswa yang dilakukan oleh pendamping sebaya ITB. Pendamping sebaya sendiri adalah mahasiswa yang telah mendapatkan pelatihan dasar sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan dalam penanganan awal terkait permasalahan yang dihadapi rekan-rekan mahasiswa lainnya.
Acara tersebut dibuka dengan sambutan dari Ir. Hendri Syamsudin, M.Sc., Ph.D., selaku Kasubdit Kesejahteraan Mahasiswa ITB. Menurut Hendri, keberadaan pendamping sebaya menjadi penting karena fungsinya yang menunjang aspek promotif, preventif, serta kuratif terkait kesehatan mental untuk mendukung kesejahteraan mahasiswa (student well-being).
Survei yang pernah dilakukan pada mahasiswa ITB menunjukkan lebih dari 30% mahasiswa membutuhkan bantuan dalam hal penanganan kesehatan mentalnya. “Isu kesehatan mental merupakan kondisi yang berlaku global, dan kita di ITB berharap bahwa kita dapat berkontribusi, paling tidak bisa memberikan support kepada teman-teman mahasiswa kita dalam menghadapi hal tersebut,” ujar Hendri.
Kemudian acara dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi oleh psikolog ITB yaitu Herdiana Muktikanti, S.Psi, M.Psi., dan Wina Ratna Dewi Ariyanti, S.Psi., M.Psi. Secara garis besar materi yang disampaikan ditujukan untuk mengingatkan kembali posisi pendamping sebaya ITB dalam lingkup kemahasiswaan serta prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam proses pendampingan.
Pada dasarnya, proses pendampingan yang dilakukan diharapkan mampu memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan dampingan dalam melewati masa kritis kehidupannya dengan potensi dirinya sendiri. Dalam hal ini posisi pendamping sebaya bukan sebagai orang yang mengarahkan atau memberi solusi, namun lebih kepada fasilitator yang menjembatani dampingan dalam menyelesaikan permasalahannya.
Herdiana menjelaskan, “Tujuan pendampingan adalah membantu dampingan untuk bertumbuh sesuai kebutuhan dan arah yang mereka inginkan. Kita (pendamping) memfasilitasi lewat mendengarkan mereka bercerita. Jadi tidak ada tuntutan dalam sesi pendampingan untuk kita mengubah perilaku mereka.”
Dalam acara tersebut, pendamping sebaya ITB juga diingatkan untuk selalu menunjukkan tiga sikap inti dalam setiap proses pendampingan, di antaranya adalah menerima dampingan apa adanya (unconditional positive regard), menunjukkan keterbukaan dan ketulusan (genuine), serta berusaha memahami sudut pandang dampingan (empathy). Pendamping sebaya yang tampil prima dalam setiap sesi pendampingan terbukti meningkatkan keberhasilan dalam proses pendampingan yang dilakukan.
Setelah penyampaian materi dari psikolog, acara disambung dengan sharing session dari pendamping sebaya. Sesi ini diisi dengan diskusi terkait beberapa kasus yang pernah ditangani oleh pendamping sebaya untuk kemudian ditanggapi oleh para psikolog dan pendamping sebaya yang lain. Melalui metode ini, diharapkan para pendamping sebaya ITB memiliki perspektif yang lebih luas terkait pola penanganan yang efektif dalam proses pendampingan. Semakin efektif proses pendampingan yang dilakukan, maka akan semakin banyak pula mahasiswa yang merasakan manfaat dari adanya proses pendampingan sebaya ini.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)