Chipageddon: Fenoma Global Mengkhawatirkan dan Dampaknya Bagi Negara

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


BANDUNG, itb.ac.id – Pusat Mikroelektronika (PME) ITB mengadakan diskusi daring bertema “Chipageddon: Global Chip Shortage”. Istilah Chipageddon sendiri merupakan sebuah fenomena kekurangan pasokan chip dunia.

Diskusi ini menghadirkan empat pembicara yaitu Prof. Trio Adiono, Ph.D., Dr. Irman Idris, Dr. Adi Indrayanto, dan Dr. Budi Rahardjo, dari STEI ITB, Jumat (18/6/2021). Mengawali diskusi, Dr. Irman Idris menjelaskan bahwa chip semikonduktor banyak ditemukan di alat-alat elektronik, dari kulkas hingga mobil. Sebagai salah satu komponen penting dalam menyukseskan transformasi digital, industrinya terkenal dengan pertumbuhan stabil di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swiss.

Namun, pandemi COVID-19 menyebabkan naiknya penjualan gawai yang marak digunakan saat WFH (Work from Home), sedangkan penjualan automotif menurun. Wafer fab (pabrik pembuatan chip) pun mengurangi produksi chip dan mengalihkan fokus ke pasar WFH. Di sisi lain, sektor otomotif cepat pulih dan permintaan chip meningkat tetapi wafer fab tidak bisa menyesuaikan permintaan dengan instan. “Pada akhirnya, beberapa alat elektronik memberhentikan perakitan atau mengundurkan perilisan barang baru karena kurangnya persediaan,” ujar Dr. Irman.

Prof. Trio Adiono, Ph.D. menambahkan, industri chip penting bagi inovasi teknologi. Rantai nilainya diawali dari ide desain rangkaian elektronik yang nanti dipabrikasi dan dikemas di pabrik menjadi produk elektronika seperti laptop dan kamera. Sayangnya, pandemi mengubah perilaku konsumen dan mengacaukan rantai pasokan chip, ditambah dengan masalah kompleksitas geopolitik yaitu perang dagang antara beberapa negara pembuat chip semikonduktor. “Produksi chips 1.000.000.000.000 per tahun, di mana satu orang menggunakan 128 chips,” ujarnya.

Ir. Budi Rahardjo, Ph.D., mengatakan bahwa SDM Indonesia untuk memulai industri chips sudah ada, tetapi masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi seperti perlunya teknologi, desain, permintaan pasar, dan investasi yang tinggi untuk mewujudkannya. Di sisi lain produksi massal bakal susah karena sudah memasuki pemasokan global. Karena inilah ekosistem Indonesia belum kuat untuk mendukung produksi dan investasi chips. “Seharusnya industri ini masuk ke industri strategis,” saran Ir. Adi Indrayanto, Ph.D.

Sementara itu, Dr. Irman, mengatakan, tantangan Indonesia dalam permasalahan chipageddon adalah membuat produk-produk komponen semikonduktor berpeluang dari bahan-bahan yang sudah ada di dalam negara. Indonesia juga harus bergabung ke ekosistem global industri semikonduktor dan masuk ke rantai pasok chip dunia untuk memanfaatkan isu-isu strategis seperti pasar, trade balance dan SDM. Hal ini dapat dimulai dengan membangun engineering center di bidang semikonduktor/mikroelektronika di bawah Kementrian Perindustrian. “Kalau kita memanfaatkan isu strategis, kita bisa memulai sesuatu dan membangun industri semikonduktor dalam negeri ini,” ungkapnya.


Untuk membuat engineering center sendiri tidaklah mudah. Alat untuk produksi chip pun mahal. Kerja sama dengan pihak luar dan pendanaan yang cukup sangat penting untuk merealisasikan tujuan ini. Maka dari itu, hal terpenting dalam perencanaannya adalah kesadaran dan persiapan yang tinggi dalam berbagai krisis industri ke depan, secara politik, sosial, ataupun teknologi. “Harus ada komunikasi dan tukar pikiran antarsudut pandang berbeda untuk membantu membangun industri di dalam negeri,” pungkas Dr. Adi.

Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)