Webinar SAPPK: Mengkaji Isu Strategis Desentralisasi Fiskal terhadap Pelayanan Publik Daerah

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id — Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB menggelar seri webinar dalam lingkup tema besar Sustainable Development in Built Environment. Webinar kali ini mengangkat topik “Babak Baru Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah.”

Ir. Andi Oetomo, M.Pl., dari Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan (KK P2PK) menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut dengan memaparkan isu tentang hubungan keuangan pusat dan daerah bagi pengelolaan pelayanan publik daerah.

Sebagai pembuka, Andi menyampaikan bahwa arah desentralisasi fiskal melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) telah dimutakhirkan berdasarkan tantangan-tantangan yang dihadapi selama ini. Secara umum pemutakhiran mencakup kebijakan transfer daerah yang lebih baik, sistem pajak yang lebih efisien, serta harmonisasi belanja pusat dan daerah. Hal ini muncul sebagai respons dari adanya isu desentralisasi fiskal di berbagai daerah yang perlu ditangani secara komprehensif.

"Dalam upaya memperkuat reformasi perpajakan dan retribusi daerah, pemerintah memangkas jumlah jenis pajak dan retribusi daerah. Melalui Undang-undang ini (UU HKPD) pajak daerah akan berkurang dari 16 menjadi 14, dan retribusi (berubah) dari 32 menjadi 18 jenis. Maksudnya untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Tapi intinya untuk pelayanan publik jadi lebih sulit bagi daerah untuk membagi jenis-jenis pendapatan tertentu dalam mengembalikan ke asal pendapatannya," ungkap Andi menjelaskan.

Menurut Andi, poin yang dicita-citakan dalam UU HKPD merupakan hal yang krusial dan berpeluang mendatangkan perubahan ke arah yang lebih baik. Namun muatan tersebut masih perlu ditimbang kembali apakah responsif terhadap kebutuhan daerah atau tidak.

Dalam hal ini, Andi memberikan contoh perubahan baru dalam UU HKPD yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). PBJT merupakan nomenklatur pajak baru yang menggabungkan lima jenis pajak, yaitu pajak hotel, restoran, hiburan, parkir, dan penerangan jalan. Pengintegrasian ini bertujuan untuk menyederhanakan administrasi wajib pajak serta memudahkan pemantauan pemungutan pajak oleh pemerintah daerah.

Namun realitanya, perubahan dalam UU HKPD masih dirasa belum signifikan karena hanya bersifat elementer berupa perubahan tarif dan nomenklatur tanpa ada inovasi dalam meningkatkan pendapatan daerah.

Dalam Undang-undang tersebut, skema Dana Bagi Hasil (DBH) juga cenderung bersifat alamsentris sehingga daerah cenderung bertindak eksploitatif untuk mendapatkan DBH yang lebih besar. Implikasi lain UU HKPD terhadap pelayanan pajak pertambahan nilai terlihat jelas dalam realisasi fiskal. Porsi belanja modal pada APBD relatif kecil sehingga pengembangan infrastruktur di daerah lebih banyak mengandalkan dana transfer dari pusat.

"Dari berbagai implikasi tersebut, dapat diperkirakan dengan penggabungan beberapa pajak konsumsi ke dalam PBJT maka akan semakin sulit usaha untuk mengatur alokasi anggaran dalam rangka peningkatan mutu pelayanan publik di daerah," ujar Andi dalam menutup sesi webinar.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)

Foto ilustrasi: freepik.com