World Mental Health Day 2024: “Safe Campus, Safe Minds”
Oleh Iko Sutrisko Prakasa Lay - Mahasiswa Matematika, 2021
Editor M. Naufal Hafizh
BANDUNG, itb.ac.id – Dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 10 Oktober, Institut Teknologi Bandung (ITB), melalui Bimbingan Konseling (BK) ITB, mengadakan acara bertajuk “Safe Campus, Safe Minds” yang berlangsung di Ruang Alumni Sipil (ALSI), ITB Kampus Ganesha. Acara ini menghadirkan berbagai pembicara dari latar belakang yang beragam untuk memberikan wawasan terkait kesehatan mental, pencegahan pelecehan seksual, dan manajemen stres di lingkungan kampus.
Materi yang dibawakan oleh Dra. Isriana, psikolog dari BK ITB bertajuk “Sex Boundaries to Prevent Sexual Harassment” yang membahas tentang pentingnya menetapkan batasan pribadi untuk mencegah pelecehan seksual, dengan harapan meningkatkan perhatian terhadap keselamatan dan kenyamanan di lingkungan kampus.
Beliau menekankan bahwa pelecehan seksual kerap menjadi isu yang disalahpahami atau bahkan diremehkan oleh masyarakat. Padahal, dampaknya dapat sangat merugikan, baik secara fisik maupun mental. Salah satu kunci utama dalam mencegahnya adalah dengan memahami dan menetapkan boundaries atau batasan pribadi. Batasan ini, menurutnya, sangat penting untuk dipahami dan dihormati oleh setiap individu agar dapat melindungi diri dari perilaku yang tidak diinginkan.
Pelecehan seksual, ujarnya, merupakan segala bentuk tindakan seksual yang terjadi tanpa persetujuan atau consent dari pihak lain. Tindakan ini dapat berupa perilaku fisik maupun verbal yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, takut, atau merasa terhina.
Menurutnya, salah satu bentuk tindakan tersebut yang paling umum namun sering diabaikan adalah pelecehan verbal, seperti komentar bernuansa seksual atau lirikan yang tidak pantas. Meski tindakan tersebut tampak sepele bagi sejumlah orang, namun bagi korban, efeknya dapat sangat mengganggu dan menciptakan rasa takut serta ketidaknyamanan yang berkepanjangan.
“Contoh umum dari pelecehan verbal adalah cat calling, orang sering berkomentar atau membuat suara-suara seperti peluit atau suara ciuman yang ditujukan kepada seseorang di jalan. Meski bagi sebagian orang hal ini tampak sepele atau bahkan dianggap lucu, namun bagi korban, terutama mereka yang memiliki pengalaman trauma, hal ini bisa sangat menyinggung dan menyakitkan. Bahkan pernyataan yang tampaknya pujian, seperti komentar tentang cara berpakaian atau gaya rambut seseorang, bisa dianggap sebagai pelecehan jika disampaikan dengan cara yang tidak pantas atau jika tujuan sebenarnya adalah untuk merendahkan orang tersebut,” ujarnya.
Selain itu, beliau membahas peran penting persetujuan dalam interaksi seksual. Persetujuan harus selalu menjadi dasar dalam setiap hubungan interpersonal, baik hubungan romantis maupun hubungan lainnya. Tidak ada satu pihak pun yang boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain tanpa persetujuan yang jelas. Penting bagi individu untuk mengetahui kapan harus mengatakan ‘ya’ dan kapan harus mengatakan ‘tidak’ dalam situasi apapun yang melibatkan aktivitas fisik atau emosional. Dengan memiliki semacam kompas pribadi yang jelas, individu dapat mengurangi risiko terjebak dalam situasi yang berpotensi merugikan, serta menjaga kesehatan mental dan fisik.
Namun, beliau mengakui bahwa tidak selalu mudah bagi seseorang untuk mengenali batasan diri. Dalam beberapa kasus, korban pelecehan seksual merasa bingung atau ragu apakah tindakan yang dialaminya termasuk pelecehan atau tidak. Contohnya situasi ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan komentar atau sentuhan yang diberikan orang lain, namun mereka tidak berani menyuarakan perasaan tersebut karena takut dianggap berlebihan. Dalam kondisi seperti ini, beliau menekankan pentingnya mendengarkan intuisi dan mempercayai perasaan sendiri. Setiap individu didorong untuk lebih berani menetapkan dan mempertahankan batasan pribadi, serta untuk tidak ragu-ragu dalam menyuarakan ketidaknyamanan yang dirasakan.
Dalam acara ini juga dibahas tentang manajemen stres yang sehat oleh Haifa Audrey Azzahra, S.Psi. dari Ubah Stigma. Beliau menjelaskan bahwa stres adalah reaksi alami tubuh terhadap tekanan, dan stres kerap muncul akibat situasi-situasi yang tidak diinginkan, seperti pelecehan seksual atau perundungan.
Terdapat beberapa respons tubuh terhadap stres, yakni fight, flight, dan freeze. Beliau mengajarkan teknik-teknik sederhana untuk mengelola stres, termasuk teknik pernapasan yang dapat membantu menenangkan diri saat berada dalam situasi yang penuh tekanan.
Dalam beberapa kasus, respons fight dapat digunakan, seperti saat belajar untuk berkata ‘tidak’ atau menolak perlakuan yang tidak pantas. Namun, ada juga situasi ketika respons fight tidak proporsional, seperti membalas secara tidak adil. Oleh karena itu, menurutnya, seseorang perlu belajar menahan diri dan mengevaluasi situasi sebelum memberikan respons fight.
Respons kedua terhadap stres adalah flight. Seseorang cenderung menghindari situasi yang menekan, seperti menarik diri dari lingkungan sosial, tidak ingin keluar rumah, atau menghindari interaksi dengan orang lain. Namun, perlu diingat bahwa mengisolasi diri dari lingkungan berkepanjangan bisa menyebabkan perasaan kesepian, yang pada akhirnya dapat memicu masalah mental lainnya seperti depresi.
Respons ketiga adalah freeze. Tubuh merasa lumpuh atau tidak bisa bergerak ketika menghadapi situasi yang sangat menekan. Misalnya, dalam kasus pelecehan seksual, mungkin ada orang yang bertanya mengapa korban tidak teriak atau meminta bantuan. Jawabannya mungkin karena tubuh mereka bereaksi dengan respons freeze, yakni emosi yang dirasakan terlalu overwhelming sehingga mereka tidak mampu bertindak.
Reporter: Iko Sutrisko Prakasa Lay (Matematika, 2021)