Diskusi dan Bedah Buku: Lekra Tak Pernah Membakar Buku
Oleh niken
Editor niken
BANDUNG, itb.ac.id - "Lekra Tak Pernah Membakar Buku", karya Rhoma Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan atau yang akrab dipanggil Gus Muh, merupakan buku yang isinya dapat melengkapi rasa penasaran kita mengenai masalah sejarah, seni, dan politik pada era 65-an. Pada Rabu(21/1), Majalah Ganesha ITB, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, dan JAREK menyelenggarakan diskusi dan bedah buku "Lekra Tak Pernah Membakar Buku" di Galeri Soemardja.
Gus Muh, sejak 3 tahun lalu berangan-angan ingin menulis tentang pembakaran buku Lekra yang ia ragukan bagaimana Lekra dan terutama sekali Pram yang berpikir sangat didaktik ihwal buku bisa melakukan pembakaran buku.Gus Muh dan Rhoma bertemu dalam tim Seabad Pers Indonesia dan saat itu Rhoma Aria bertugas mereview biografi koran-koran kiri/komunis yang terpilih dalam tabulasi riset, termasuk Harian Rakjat. Keduanya kemudian bersepakat menulis tentang lembar kebudayaan Harian Rakjat dan Pembakaran Buku.
Tahap pengumpulan data inilah tahap yang paling berat, tidak mudah untuk meriset koran-koran. Tiga hari tiga malam bekerja tanpa henti. Buku ini adalah proyek pribadi, maka tahap-tahap berikutnya dilakukan oleh penulis sendiri. "Anggaran yang kami kumpulkan dari gaji kecil-kecilan itu hanya cukup untuk biaya layouter kami edit buku ini sendiri dan alhasil masih banyak salah sana sini. Untungnya di Jogja percetakannya bisa ngutang, dan untuk membuat sampul pun kami akhirnya meminta tolong pada salah satu teman kami dengan dua bungkus rokok.." cerita Rhoma.
Mengapa yang digunakan sebagai sumber adalah Harian Rakjat? Alasannya ada pada posisi Harian Rakjat saat era 65 itu. Harian Rakjat adalah koran politik terbesar untuk masanya, tapi juga mengandung seluruh ekspresi budaya rakyat sehingga koran ini bisa dianggap sebagai koran budaya. Harian Rakjat lebih menonjol dalam soal pemberian ruang isu-isu kebudayaan. Terutama sekali para pekerja budaya yang bernaung di bawah Lekra.
"Lekra Tak Pernah Membakar Buku" sempat terbit di Toko Buku Gramedia selama 1 hari, tetapi setelah itu ditarik kembali, dengan alasan ada unsur SARA baik di sampul maupun isinya, walaupun penulis pun tidak tahu dimana letak unsur itu.
Tahap pengumpulan data inilah tahap yang paling berat, tidak mudah untuk meriset koran-koran. Tiga hari tiga malam bekerja tanpa henti. Buku ini adalah proyek pribadi, maka tahap-tahap berikutnya dilakukan oleh penulis sendiri. "Anggaran yang kami kumpulkan dari gaji kecil-kecilan itu hanya cukup untuk biaya layouter kami edit buku ini sendiri dan alhasil masih banyak salah sana sini. Untungnya di Jogja percetakannya bisa ngutang, dan untuk membuat sampul pun kami akhirnya meminta tolong pada salah satu teman kami dengan dua bungkus rokok.." cerita Rhoma.
Mengapa yang digunakan sebagai sumber adalah Harian Rakjat? Alasannya ada pada posisi Harian Rakjat saat era 65 itu. Harian Rakjat adalah koran politik terbesar untuk masanya, tapi juga mengandung seluruh ekspresi budaya rakyat sehingga koran ini bisa dianggap sebagai koran budaya. Harian Rakjat lebih menonjol dalam soal pemberian ruang isu-isu kebudayaan. Terutama sekali para pekerja budaya yang bernaung di bawah Lekra.
"Lekra Tak Pernah Membakar Buku" sempat terbit di Toko Buku Gramedia selama 1 hari, tetapi setelah itu ditarik kembali, dengan alasan ada unsur SARA baik di sampul maupun isinya, walaupun penulis pun tidak tahu dimana letak unsur itu.