Diskusi Peringatan Hari Kartini Dorong Guru Perempuan untuk Berani

Oleh Neli Syahida

Editor Neli Syahida

Bandung, itb.ac.id - Untuk memperingati Hari Kartini serta menggelorakan Bulan Budaya Bernalar 2013, Moedomo Learning Initiative (MLI), Common Room Network Foundation, dan UPT Perpustakaan ITB menyelenggarakan diskusi dengan tema, "Di Balik Heningnya Perempuan Guru". Dalam diskusi ini, pembicara utama, Henny Soepolo berbagi cerita mengenai masalah yang dialami oleh guru-guru perempuan di Indonesia berkaitan dengan perbedaan gender. Masalah ini baru terungkap secara tidak langsung ketika beliau mengadakan pelatihan untuk para guru.

Cahaya guru merupakan suatu yayasan nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi guru-guru di Indonesia. Yayasan ini telah melatih 4500 guru di Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya 400 orang yang siap untuk dilatih secara intensif. Lalu, dari 400 orang berhasil didapatkan 120 guru yang berpotensi untuk berkembang. Dari 120 orang tersebut, hanya 5 orang yang benar-benar siap untuk mengikuti pelatihan yang mendalam.

Ketika yayasan ini bergerak dari sekolah ke sekolah yang lain di berbagai daerah di Indonesia, mereka menyoroti ada permasalahan penting yang dialami oleh guru-guru perempuan di Indonesia. Masalah ini berkaitan dengan perbedaan gender. Beliau bercerita ketika diadakan pelatihan dalam kelompok besar, guru-guru perempuan sangat pasif. Pasif bukan berarti tidak ada yang hendak disuarakan, melainkan ada yang ingin disampaikan, namun tidak punya keberanian untuk menyampaikan. "Orang yang sangat ingin berpendapat namun tidak berani menyuarakannya, gerak-gerik tubuhnya sangat terlihat," tutur Henny. Hal yang sebaliknya terjadi saat dilakukan diskusi pada kelompok-kelompok kecil. Mereka sangat aktif menyuarakan pendapatnya. Selain itu mereka juga terlihat tampak menguasai bidangnya. Ketika diberikan kesempatan untuk bertanya, mereka bertanya tentang suatu hal yang benar-benar penting.

Tim pelatih dari Yayasan Cahaya Guru baru mengetahui inti permasalahannya ketika beberapa orang dari mereka mengungkapkannya. Di sela-sela sesi pelatihan, seperti saat coffe break dan makan siang, mereka dengan gamblang mengatakan bahwa sungkan untuk mendahului teman laki-laki. Ketika mereka memiliki pemikiran-pemikiran yang mereka anggap cukup cerdas, mereka akan memendamnya dan memberikan kesempatan kepada guru laki-laki untuk berbicara. Hingga seringkali apa yang mereka ingin sampaikan sudah lebih dahulu disampaikan oleh temannya. Bahkan terkadang mereka berpendapat bahwa apa yang disampaikan guru laki-laki itu kurang berbobot dibandingkan dengan apa yang ingin disampaikannya. Namun, mereka berpikir mereka tidak cukup istimewa untuk mendapatkan kesempatan berbicara di depan.

Rasa takut yang dimiliki oleh guru perempuan juga seringkali disebabkan oleh pengalaman yang buruk, seperti berbicara tanpa didengarkan oleh peserta lain. Ketika berbicara di depan, peserta lain cenderung mengabaikannya. Sementara jika yang berbicara di depan adalah laki-laki, maka peserta lain akan mendengarkan dengan serius. Pengalaman ini menjadikan mereka takut untuk berbicara di depan. Hingga akhirnya mereka terbiasa untuk diam dan terbiasa untuk tidak didengarkan. "Guru punya potensi untuk tetap meneruskan lingkaran ini. Oleh karena itu, lingkaran ini harus segera diputus sebelum menjadi semakin terbiasa," tutur Henny.

Setelah mengetahui kondisi tersebut, para pelatih yayasan Cahaya Guru pada akhirnya mencoba mendorong guru-guru perempuan untuk berani. Ketika ada sesi diskusi atau tanya jawab pada kelompok besar, para pelatih memperhatikan gerak-gerik guru yang terlihat ingin mengutarakan sesuatu. Kemudian mereka mendekatinya dan mengatakan bahwa guru tersebut akan mendapatkan giliran untuk berbicara. Setelah teknik ini diterapkan beberapa kali, pada akhirnya guru-guru perempuan sudah terbiasa untuk berani mengungkapkan pendapatnya.

"Suatu fakta yang terjadi pada guru perempuan ini sebenarnya merupakan cerminan dari kondisi masyarakat kita," tutur Henny. Secara implisit sebenarnya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan masih cukup rendah di Indonesia walaupun tidak sejelas saat zaman Kartini hidup. "Guru perempuan harus didorong untuk berani bersuara. Karena kalau tidak, suara guru perempuan yang tajam ini akan selamanya tenggelam," tambah Henny.

Diskusi berlangsung cukup menarik ketika beberapa peserta mencoba mengungkapkan pengalaman-pengalamannya. Seorang guru perempuan dari sebuah SMK Otomotif di Bandung menyatakan apresiasinya kepada Yayasan Cahaya Guru yang telah berpartisipasi dalam mendorong semangat guru-guru wanita. Berbeda dengan apa yang disampaikan Henny selaku pembicara, beliau bercerita bahwa kesetaraan gender sudah cukup bagus di sekolah tempat ia mengajar. "Walaupun sekolah kami bergerak di bidang otomotif, namun guru perempuan jumlahnya cukup banyak dan tidak ada permasalahan gender yang saya rasakan. Bahkan, jabatan-jabatan tinggi juga banyak diduduki oleh wanita-wanita strong," tutur Ibu tersebut sambil tertawa. Dari pelatihan yang selama ini dilakukan, Yayasan Cahaya Guru juga menemukan beberapa guru perempuan yang memang cukup vokal. "Guru-guru ini tidak banyak jumlahnya dan memang benar-benar orang yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Maka, guru-guru seperti ini layak kita berikan apresiasi," kata Henny.


scan for download