Dosen FSRD ITB Ungkap Jejak Kreatif Prasejarah di Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Keragaman budaya Indonesia tidak pernah lepas dari keragaman seninya. Mulai dari seni prasejarah hingga seni modern memiliki karakteristik dan estetika tersendiri yang menarik untuk diulas. Seperti halnya perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2021 yang hadir sebagai tempat diskusi para penikmat seni. BWCF 2021 mengangkat tema “Membaca Ulang Claire Holt Estetika Nusantara Kontinuitas dan Perubahannya” dan diselenggarakan secara virtual selama tiga hari, 18-21 November 2021.
BWCF 2021 turut mengundang Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD ITB) Dr. Pindi Setiawan untuk menjadi pembicara dalam salah satu serial webinar pada Kamis (18/11/2021). Topik yang diangkat pada webinar pertama ini yakni “Penemuan Terbaru Gambar-Gambar Cadas (Rock Art) di Gua-Gua Pra sejarah dan Batu-Batu Megalit Indonesia serta Implikasinya Terhadap Sejarah Seni Indonesia”. Dipandu oleh moderator Prof. Dr. Harry Widianto, DEA., Pindi bersama ketiga pembicara lain banyak mengulas tentang rock art yang merupakan bagian dari seni prasejarah dan tidak banyak orang tahu.
“Art di Indonesia semakin berkembang ditambah dengan munculnya budaya-budaya baru yang masuk. Namun, keragaman ini janganlah membuat kita lupa akan seni yang sudah berkembang sejak dahulu kala dan keberadaannya mungkin tidak semudah kita mendapatkan seni yang ada sekarang,” ujarnya.
Menurut Pindi, pentingnya topik ini diangkat untuk mengedukasi masyarakat terutama penikmat seni bahwa di tempat terpencil dan sulit dijangkau pun masih terdapat jejak-jejak seni warisan nenek moyang.
Dalam presentasinya, Pindi menjelaskan bahwa dalam buku Claire Holt terdapat beberapa karakteristik khas dari rock art di antaranya, menceritakan peristiwa prasejarah. Gambar cadas (Garca) prasejarah identik dengan memadukan curahan hasrat estetika dan logika kehidupan kala itu. Selain itu, situs mamatua dan cap tangan negatif dengan perpaduan warna merah, jingga, ungu, hitam dan putih serta teknik kuasan, stensil (semburan) dan torehan. Garca juga identik dengan perasaan yang kuat antara benda kosmos, manusia, dan fauna laut.
Pada kesempatan itu, Pindi juga mempresentasikan penemuan yang dia dapat saat melakukan ekspedisi di Sangkulirang, Kalimantan Timur, dan Maros, Sulawesi Selatan. Di kedua tempat tersebut ditemukan gambar imaji satwa yang sudah punah dan alat buruh zaman savana. Selain itu ditemukan garca sosok manusia datu-saman (headmask anthropomorphic) di Sangkulirang dan manusia jadi-jadian (theriantrophic) di Maros.
Pindi menjelaskan ekspedisi ini selain mengangkat kembali jejak kreatif zaman prasejarah juga dalam rangka melaksanakan suatu projek indeks warna yang diperkirakan selesai 2022 dan akan menjadi index warna Indonesia. Besar harapan seni Indonesia dari setiap masa dapat tetap eksis di tengah zaman yang serba dinamis.
Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)