Dosen ITB Terjun Langsung ke Daerah 3T, Ajarkan Sains Dasar yang Relevan untuk Siswa SD di Pulau Rinca
Oleh M. Naufal Hafizh
Editor M. Naufal Hafizh
BANDUNG, itb.ac.id – Akses dan fasilitas pendidikan masih menjadi persoalan di sejumlah wilayah Indonesia. Salah satunya di Pulau Rinca, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Namun, antusiasme siswa akan pendidikan sangat tinggi. Hal itu terlihat dari raut wajah dan semangat mereka seperti disampaikan para dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melakukan pengabdian kepada masyarakat di pulau tersebut, tepatnya di SDN 1 Pulau Rinca, 23-25 Juli 2024.
Keinginan Belajar dan Ancaman Komodo
Pulau Rinca merupakan salah satu destinasi wisata di NTT. Namun, hanya ada satu SD dengan 13 guru dan 170 siswa. Pulau itu salah satu habitat komodo. Setiap berangkat dan pulang sekolah, siswa harus waspada dengan ancaman komodo yang hidup bebas di sekitar mereka. Karena itu, mereka kerap membawa tongkat dan kerikil untuk berjaga-jaga.
Adapun untuk menjaga kondusivitas pembelajaran, dibangun pagar pembatas di SD tersebut agar tidak ada komodo yang masuk. Namun, ketika ada seng yang rusak, kegiatan belajar mengajar ditiadakan demi keamanan.
Eksperimen
Akses pengetahuan di sana masih terbatas. Belum ada fasilitas laboratorium sains dan alat peraga di sekolah. Materi sains hanya dipelajari dari buku paket yang diberikan pemerintah. Siswa pun kesulitan mengakses sumber bacaan yang sesuai usia dan relevan dengan lingkungannya.
Melihat kondisi tersebut, Dosen dari Kelompok Keahlian Literasi Budaya Visual, FSRD ITB berkolaborasi dengan Program Studi S1 Fisika FMIPA ITB melaksanakan program pengabdian kepada masyarakat dengan judul “Literasi Sains” yang didanai Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITB (Per 1 Agustus 2024 menjadi Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat ITB). Tim terdiri atas Dr. Tri Sulistyaningtyas, M.Hum., Yani Suryani, M.Hum., Sira Kamila, M.Hum, Prof. Dr. Fatimah Arofiati Noor, M.Si., Arkananta Rasendriya, S.Si., dan Yulia Mifftah Huljanah, S.Si.
Penanggung jawab pengabdian masyarakat, Yani Suryani, M.Hum., mengatakan, pengajaran sains yang dilakukan tidak hanya materi tetapi juga praktik. “Para siswa bertualang dari pos 1 hingga pos 6 dalam rangkaian cerita untuk mengenali cahaya dari perspektif fisika. Mereka dilatih bekerja sama dalam kelompok dan merasakan pengalaman praktik langsung dari alat dan bahan-bahan sederhana,” katanya.
Prof. Fatimah mengatakan, “Kami mengajarkan tentang cahaya yang relevan atau disesuaikan dengan kawasan pantai di sana. Karena belajar eksperimen itu artinya kita mengamati alam sekitar.”
Beliau menambahkan, kolaborasi lintas Kelompok Keahlian dan Fakultas/Sekolah ini dilakukan karena ITB ingin memahamkan pengetahuan sains dasar kepada siswa di daerah terpencil. “Ini salah satu program ITB untuk mengembangkan daerah 3T dengan cara melakukan eksperimen sains-sains dasar sederhana yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan di sana,” ujarnya, Kamis (8/8/2024).
Yani Suryani, M.Hum. mengatakan, setelah melakukan eksperimen, tim akan membuat buku cerita anak sains dasar dengan materi dan desain yang menarik agar mudah dipahami anak-anak. Buku tersebut akan dilengkapi dengan alat eksperimen beserta panduannya. Dengan begitu, siswa dapat mempraktikannya langsung dan mengambil pesan untuk memahami fenomena sains di sekitar hingga menjaga lingkungannya. Ke depannya, buku tersebut akan didistribusikan kepada siswa di SD tersebut maupun daerah 3T lainnya.
Dalam eksperimen, peserta diajak melihat sumber-sumber cahaya dan sifatnya yang selama ini dekat dengan kehidupan menggunakan ilmu fisika dengan dalam percobaan dengan barang-barang sederhana, seperti lensa, laser, senter, kertas hvs, kardus, gelas bening, kaca, cermin, dan gunting. Tim pun menggunakan bahan-bahan dapur, seperti minyak goreng, kecap, gula, dan garam.
Percobaan dilakukan di 6 pos. Setiap pos berisi percobaan yang berkaitan dengan cahaya.
Pada pos pertama, siswa mendapatkan percobaan untuk membuktikan sifat cahaya merambat lurus. Percobaan dilakukan dengan laser, senter, kertas karton, dan kertas HVS. Cahaya senter diarahkan ke kertas karton dan kertas HVS untuk menunjukkan cahaya merambat lurus. Tim pengabdian menyampaikan fenomena cahaya merambat lurus melalui kebiasaan becermin.
Di pos selanjutnya berisi percobaan membuktikan sifat cahaya menembus benda bening. Percobaan ini menggunakan senter yang disorotkan ke gelas yang diisi dengan material berbeda. Percobaan ini menunjukkan perbedaan antara cahaya menembus benda bening (gelas bening berisi air), cahaya menembus benda keruh (gelas berisi air yang dicampur gula, garam, minyak), dan cahaya menembus benda gelap (gelas berisi kecap). Melalui eksperimen ini, tim pengabdian menyampaikan pentingnya menjaga lingkungan laut tidak tercemar agar tetap dapat menikmati keindahannya. Ketika laut tercemar, cahaya tidak dapat menembus air yang keruh atau gelap (padat).
Peserta pun diajak membandingkan pembiasan cahaya dari media berindeks bias rendah ke media berindeks bias tinggi dengan menggunakan gelas bening, air, dan pensil peserta diajak. Pada percobaan ini, peserta mengetahui bahwa cahaya dapat dibiaskan dengan mengamati pensil yang terlihat patah atau bengkok jika diamati dari samping gelas. Peserta juga diajak mengamati proses terjadinya pelangi menggunakan wadah, air, dan cermin datar.
Di pos lainnya, peserta antusias ketika mengetahui sifat cahaya dapat dipantulkan. Melalui pos ini, peserta didik menggunakan laser dan cermin datar. Pos terakhir merupakan sifat bayangan lensa dan cermin. Pada pos ini, peserta menggunakan lilin, kertas HVS, cermin datar, cembung, dan cekung, serta lensa cembung dan cekung. Tim mengajak siswa mengetahui perbedaan antara sifat bayangan yang dihasilkan lensa dan sifat bayangan yang dihasilkan cermin.
Antusiasme
Selama percobaan, peserta sangat antusias. Mereka sangat senang dapat melakukan eksperimen bergantian. Banyak dari mereka bertanya karena memiliki keingintahuan yang tinggi selama melakukan percobaan.
Terkait hal itu, Dr. Tri Sulistyaningtyas mengatakan, “Yang membedakan kegiatan pendidikan ini dengan yang lainnya karena kita memberikan materi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan lingkungan mereka sehingga mudah dipahami dan diimplementasikan.”
Selain dari siswa SD, antusiasme juga ditunjukkan para pemangku kebijakan di lokasi kegiatan. Mereka berterima kasih kepada ITB karena mau melaksanakan pengabdian kepada masyarakat di pulau terpencil. Mereka berharap kegiatan pengabdian dapat diadakan kembali.
Ke depannya, tim berencana melakukan kegiatan pengabdian lintas kelompok keahlian dengan berbagai program, salah satunya terkait optimalisasi sumber air. Mengingat hal tersebut mendasar dan dapat dioptimalkan untuk pengembangan pangan di lokasi kegiatan.
“Mereka banyak harapannya kepada kita. Tahun depan kita diminta untuk ke sana lagi dengan berbagai macam program,” ujar Dr. Tri Sulistyaningtyas.
Sementara itu, Prof. Fatimah mengatakan, “Mudah-mudahan ini bisa belanjut dan support dari ITB luar biasa. Terima kasih kami ucapkan kepada LPPM (Per 1 Agustus 2024 menjadi Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat ITB),” Beliau pun berharap pendidikan di Indonesia dapat merata dalam berbagai hal, salah satunya infrastuktur.
Program pengabdian masyarakat ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sains siswa di Pulau Rinca. Materi yang diberikan diharapkan dapat mengembangkan minat siswa untuk terus belajar dan mencari tahu. Kegiatan ini merupakan wujud nyata dan kontribusi ITB untuk meningkatkan mutu pendidikan di SDN 1 Pulau Rinca yang selama ini masih terbatas. Peningkatan kemampuan literasi sains menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan hak menempuh pendidikan yang sama.