Dosen Meteorologi ITB Jelaskan Fenomena Tornado di Rancaekek

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

BANDUNG, itb.ac.id — Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar "Webinar Tornado Rancaekek 21 Februari 2021" sebagai sosialisasi hasil penelitian yang dilakukan terhadap fenomena tersebut. Acara yang berlangsung Jumat (1/3/2024) ini menghadirkan narasumber Dr. Nurjanna Joko Trilaksono, S.Si., M.Si., dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer.

Beliau menyampaikan, setelah tornado terjadi, tim mahasiswa Program Studi Meteorologi melakukan survei lapangan untuk mengumpulkan data yang akan digunakan sebagai dasar asesmen. Survei dilakukan dua kali, pada Kamis (22/2/2024) dan Minggu (25/2/2024).

Kronologi berdasarkan data yang disusun menunjukkan bahwa cloud tail mulai terbentuk pada pukul 15.34 WIB. Sepuluh menit berselang, pusaran terbentuk pada permukaan awan di kawasan sekitar Desa Cinta Mulya, Kabupaten Sumedang. Pusaran angin terus bergerak ke arah timur hingga akhirnya mereda di sekitar perumahan Rancaekek pukul 16.00 WIB. Berdasarkan estimasi jarak dan waktu tempuhnya, pusaran angin memiliki kecepatan sekitar 15 km/jam. Kawasan yang terdampak oleh fenomena ini mencapai 305 hektare dengan intensitas kerusakan bervariasi, dari ringan hingga berat.

   

“Kecepatan dari apa yang terlihat sebagai pusaran itu kurang lebih 15 km/jam. Ini hasil dari hitungan kasar jarak dan waktu. Tapi yang perlu diingat, ini perkiraan kasar kecepatan propagasi, bukan kecepatan rotasi dari putaran,” ujarnya.

Berdasarkan kronologi dan dampak kerusakan yang diamati, tim peneliti FITB memperkirakan kemungkinan model mekanisme yang menyebabkan fenomena tersebut. Hasil pengamatan citra satelit Himawari-9 menunjukkan cikal bakal pusaran angin adalah kumpulan awan cumulonimbus di langit Bandung bagian timur. Awan tersebut berkembang dengan cepat karena uap air yang melimpah serta kondisi atmosfer yang tidak stabil. Kondisi ini menghasilkan gejala overshooting top, yakni awan tumbuh dengan sangat cepat sampai menembus tropopause dengan ketinggian yang mampu mencapai 18 kilometer.

“Sejak pukul 15.00 WIB di wilayah Bandung Timur mulai ada awan yang tumbuh. Kemudian awan terus tumbuh hingga pukul 16.00 WIB, tetapi setelah itu awan mulai memudar. Sekuens yang terjadi cukup singkat. Dari awan mulai tumbuh sampai berdisipasi itu kurang lebih satu jam,” ungkapnya.

   

Beliau menjelaskan bahwa tornado yang terjadi berkorelasi dengan angin munson Asia yang berhembus ke Indonesia pada bulan Desember sampai Februari. Angin munson yang datang dari arah barat ini kemudian bertemu dengan aliran angin yang masuk dari sela-sela pegunungan di sekitar Sumedang. Pertemuan keduanya menyebabkan perbedaan kecepatan dan arah angin (shear) sehingga aliran angin membentuk putaran.

Proses fisis terbentuknya putaran dari aliran angin secara umum dapat dikatakan sebagai tornado. Kendati demikian, jika perspektif yang digunakan sebagai dasar klasifikasi adalah kekuatan angin, maka fenomena di Rancaekek belum memenuhi skala kekuatan tornado. Oleh karena itu, perbedaan terminologi antara puting beliung dan tornado yang banyak diperdebatkan sebenarnya hanya masalah perbedaan sudut pandang tentang dasar klasifikasi.

“Berdasarkan proses fisisnya, puting beliung yang terjadi dapat digolongkan sebagai tornado, tetapi tidak dengan kekuatannya,” tuturnya.

Menurutnya, fenomena tornado seperti yang terjadi di Rancaekek sulit untuk diprediksi karena terjadi dalam waktu yang cepat. Pihaknya juga belum bisa memastikan apakah fenomena ini terkait dengan perubahan iklim atau tidak karena keterbatasan data yang digunakan dalam proses asesmen.

Beliau pun mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan mengenali berbagai fenomena alam, serta membantu pelaporan kepada pihak terkait apabila menemukan gejala-gejala ketidaknormalan di lingkungan tempat tinggal.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)