Dosen SAPPK ITB Paparkan Konsep dan Potensi Pariwisata Perdesaan dalam Sesi Kuliah Internasional
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Menurut UNWTO, pariwisata perdesaaan adalah aktivitas yang memberikan interaksi yang dipersonalisasi kepada pengunjung, suasana lingkungan fisik dan masyarakat perdesaan yang memberikan kesempatan interaksi, atau memungkinkan partisipasi dalam berbagai kegiatan, budaya/tradisi dan kegiatan masyarakat lokal.
Melalui topik ini, SAPPK International Lecture Series tahun 2022 membahas permasalahan dan konsep Rural Tourism Development and Sustainability yang menghadirkan dosen SAPPK ITB, Alhilal Furqon, Ph.D., sebagai pembicara pada Rabu (27/7/2022). Selain Alhilal, acara tersebut juga menghadirkan pembicara dari luar ITB yaitu Irina Safitri Zen, Ph.D. dari International Islamic University Malaysia (IIUM), serta Sri Fatimah, Ph.D., dari Universitas Padjadjaran.
Dalam pandangan Alhilal, pariwisata perdesaan merupakan faktor penting yang perlu dikembangkan karena memiliki potensi yang besar. Salah satunya adalah karena pariwisata perdesaan tidak mudah terpengaruh oleh berbagai goncangan dan gejolak dari luar, misalnya invasi budaya dan fenomena pandemi. Selain itu, masyarakat juga tidak banyak mengalami perubahan yang masif sebab aktivitas pariwisata dapat berjalan beriringan dengan aktivitas ekonomi basis yang sudah dilakukan masyarakat sebelumnya. Kegiatan ekonomi basis ini juga dapat dikembangkan untuk menjadi penopang bagi pariwisata perdesaan yang berfungsi sebagai daya tarik.
“Berdasarkan penelitian kami pada salah satu desa wisata di Lombok, tingkat ketergantungan kepada sektor-sektor lain tidak terlalu tinggi pada kondisi tertentu. (Contohnya) saat pandemi aktivitas pariwisata berkurang, namun aktivitas perekonomian basis mereka tetap berjalan sehingga keseharian masyarakat masih berjalan dengan baik,” ujar Alhilal.
Dalam mengembangkan konsep pariwisata perdesaan, diperlukan pendekatan pengembangan yang mampu mewujudkan sistem pariwisata perdesaan yang berkembang (develop) dan berkelanjutan (sustain). Salah satu metode dalam pendekatan ini adalah pariwisata bertumpu masyarakat atau Community Based Tourism (CBT) yang banyak diterapkan oleh negara negara berkembang karena hanya membutuhkan modal rendah. Walau fokus utama di dalamnya adalah masyarakat, namun inisiator dalam metode ini dapat berasal dari berbagai pihak, seperti pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), industri, maupun komunitas tertentu.
Alhilal juga menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata perdesaan dengan CBT memunculkan tantangan baru berupa banyaknya masyarakat yang masih bersikap pasif terhadap kebutuhan mereka sendiri. Dalam kondisi seperti ini, pihak inisiator dan fasilitator harus mampu menafsirkan kebutuhan masyarakat dalam bentuk program dan rencana pembangunan konkret melalui Participatory Rural Appraisal (PRA).
Participatory Rural Appraisal memungkinkan masyarakat perdesaan bersedia menyatakan pendapat mereka, sehingga pengetahuan yang mereka miliki dapat dianalisis dan menjadi rencana pembangunan.
“PRA artinya melibatkan masyarakat lokal dengan pendekatan bottom-up. Fasilitator perlu memiliki komunikasi dengan masyarakat lokal, namun (keuntungannya) teknik ini dapat digunakan untuk masyarakat perdesaan termasuk yang tidak bisa baca tulis,” tambahnya.
Demi mencapai pembangunan pariwisata perdesaan yang berkelanjutan, pengelolaan pariwisata dituntut untuk menerapkan konsep Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam basis jangka panjang, pendekatan perencanaan kepariwisataan dapat memberikan manfaat tanpa meninggalkan masalah-masalah yang berarti dalam mengelola kepuasan pengunjung. Integrasi sistem kepariwisataan dipusatkan pada mekanisme permintaan dan penawaran, dukungan sektor publik dan privat, serta kerangka pengembangan kebijakan.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)