Dr. Fenny M. Dwivany: "Jangan Takut Jadi Peneliti"

Oleh Muhammad Arif

Editor Muhammad Arif

Bulan April selalu diidentikkan dengan bulannya perempuan, karena bertepatan dengan hari Kartini tanggal 21 April. Kartini adalah sosok yang sangat peduli pada pendidikan, tidak hanya pemberdayaan perempuan. Pendidikan dan penelitian juga tampaknya menjadi bidang utama yang digeluti sosok dosen perempuan berikut ini.
Dr. Fenny Martha Dwivany, seorang staf pengajar Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB berhasil mendapatkan award dari program L’oreal-UNESCO for Women in Science yaitu : Unesco- L’Oreal for Young Women in Life Science International Fellowship 2007 (Paris, 21 Februari 2007), Unesco-L’Oreal for Women in Science National Fellowship 2006 (Jakarta, 29 Agustus 2006). Dua penghargaan tersebut berupa dana penelitian $40,000. Award tersebut berhasil dimenangkan melalui penelitian beliau yang berjudul ‘Metoda alternatif pengontrolan pematangan buah dengan pembungkaman gen ACC oksidase pada buah pisang’. “Ceritanya, proposal penelitian saya menang di tingkat nasional sehingga saya pun dibawa ke tingkat internasional beserta dua peneliti perempuan lainnya,” tutur perempuan cantik kelahiran 18 April 1972 ini ketika ditemui tim reporter.
Penelitiannya bertujuan untuk menghambat pematangan buah klimaterik sehingga masa konsumsi buah bisa diperpanjang. Penelitian ini sebenarnya memiliki sebuah misi besar untuk membantu petani dan pedagang kecil Indonesia untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dan memajukan perdagangan buah-buahan Indonesia. “Nantinya tidak hanya pisang yang akan saya teliti dan kembangkan, tapi juga seluruh buah-buahan asli Indonesia,” terang wanita yang memang bercita-cita menjadi dosen ini. Beliau pun tidak hanya bekerja di bidang molekulernya saja, tapi juga tes di lapangan hingga produksi buahnya. Untuk itu, beliau bekerjasama dengan staf pengajar SITH lainnya dan dengan Biogen yang memiliki konservasi plasma nutfah seluruh jenis pisang di Indonesia.
Mulai tahun 2008, beliau akan meneruskan risetnya dengan dana dari L’oreal-UNESCO di Melbourne, Australia. “Penelitian saya nantinya masih dalam skala lab (laboratorium-red) dan bagi waktu dengan mengajar,” jelas beliau. Rencananya, enam bulan pertama beliau akan mengerjakan riset, enam bulan berikutnya beliau kembali ke Indonesia untuk mengajar dan begitu seterusnya. Kemudian, jika penelitian skala lab yang kini mencapai 50-60% itu akan diteruskan dengan uji coba lapangan dan produksi massal. ”Hasilnya nanti tentu berupa produk GMO (genetically modified organism-red) yang ditanam dan diproduksi mengikuti regulasi di negara kita,” terang lulusan Biologi ITB (sarjana’95 dan master’98) ini.
Sebagai seorang peneliti perempuan, beliau memandang peneliti perempuan Indonesia telah memiliki kesempatan yang luas. “Kesempatan peneliti perempuan di Indonesia sebenarnya luas, mungkin yang kurang adalah dukungan dari keluarga.” Kebanyakan perempuan Indonesia mendapatkan tuntutan dari keluarganya untuk tidak bekerja penuh di luar rumah. Beliau sendiri mendapatkan dukungan penuh dari keluarga, terutama suaminya yang berprofesi sebagai konsultan IT. Para peneliti perempuan juga kurang mendapatkan akses informasi. “Peneliti-peneliti perempuan di daerah kurang memperoleh akses informasi, seperti jurnal-jurnal penelitian dari luar negeri.” Perkembangan ilmu dan teknologi dunia maju dengan pesatnya sehingga akses informasi sangat diperlukan untuk menunjang penelitian.
Sedangkan, menurutnya peneliti Indonesia secara umum sampai saat ini masih mengalami kesulitan dana, akses informasi dan fasilitas. Keterbatasan dana, tuturnya, dapat disiasati dengan mengajukan permohonan bantuan dana pada pihak swasta dalam dan negeri. “Sekarang ini banyak kok, perusahaan-perusahaan yang mau mendanai penelitian…tidak hanya Dikti,”ungkap beliau.
Pihak ITB sebagai institusi pun sangat mendukung kinerja Bu Fenny sebagai peneliti, terutama staf-staf SITH. “Saya bisa dibilang beruntung karena ITB memiliki fasilitas dan akses informasi yang memadai, selain itu saya juga mendapatkan banyak bantuan dari rekan-rekan kerja saya di SITH,” ujar beliau. Lingkungan akademis di SITH pun tidak kaku, sehingga hubungan antara mahasiswa, dosen dan karyawan terjalin dengan baik.
Penghargaan ini tentu membuat beliau bangga, apalagi banyak media dalam negeri yang menyiarkan keberhasilan beliau. Bu Fenny pun seakan menjadi seorang selebritis kampus. “Saya sih biasa saja, malah sempat kecapekan diliput sana-sini. Tapi melalui media, saya ingin memperkenalkan profesi peneliti ke anak-anak jaman sekarang. Profesi ini sebenarnya juga menjanjikan dan tidak sulit, kesempatannya pun banyak. Jadi, jangan takut jadi peneliti,” harap Bu Fenny. Keberhasilannya juga diharapkan dapat memicu peneliti-peneliti perempuan Indonesia untuk tidak patah semangat dan terus bekerja keras demi ilmu pengetahuan bangsa.