FMIPA ITB Ajak Masyarakat Memahami Alam Semesta Melalui Keilmuan MIPA

Oleh Abdiel Jeremi W

Editor Abdiel Jeremi W

BANDUNG, itb.ac.id - Pengetahuan manusia akan alam semesta selalu membuat manusia semakin penasaran akan eksistensinya di Bumi dan alam ini. Melihat hal tersebut, keilmuan Astronomi memikul tanggung jawab yang besar dalam menyediakan jawabannya. Keberadaan manusia yang dahulu dianggap istimewa, kini dianggap tidak lagi istimewa karena banyaknya sistem keplanetan layaknya Tata Surya. Inilah yang dibahas oleh Dr. Taufiq Hidayat pada Seri Kuliah Umum Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB di Sabtu (28/11/15) lalu. "Kuliah umum perdana FMIPA ITB ini kami persembahkan kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban kami sebagai institusi yang terus menerus mengusahakan tumbuh-kembangnya sains di Indonesia," ujar Prof. Dr. Edy Tri Baskoro selaku Dekan FMIPA saat membuka kuliah umum yang berlokasi di Auditorium CC Timur ITB ini.

Pemahaman Manusia akan Alam Semesta selalu Berkembang

Pengetahuan dan teknologi yang terbatas membuat manusia pada masa lalu hanya dapat mengidentifikasi Matahari, Bulan, Merkurius, Jupiter, Venus, Mars, dan Saturnus sebagai objek selain Bumi di dalam Tata Surya, yang mengakibatkan adanya tujuh hari dalam satu minggu. Barulah di abad ke-19 planet-planet lain seperti Uranus, Neptunus, dan Pluto ditemukan. Akan tetapi, redefinisi istilah-istilah keastronomian oleh IAU pada 2006 membuat Pluto terklasifikasi sebagai sebuah planet kerdil (dwarf planet) bersama Ceres dan Eris. Akhir abad ke-20 menjadi saksi ditemukannya eksoplanet yang kini dinamakan Bellerophon tatkala mengorbit pada sebuah bintang deret utama, yaitu 51 Pegasi. IAU mendefenisikan eksoplanet sebagai sebuah benda langit dengan massa yang tidak cukup untuk melakukan reaksi fusi Deuterium. Seiring dengan perkembangan teknologi optik dan gelombang elektromagnetik di abad ke-21, berbagai eksoplanet ditemukan. Hampir 2000 planet di luar Tata Surya telah ditemukan dengan metode-metode deteksi yang berbeda.

Di antara beragamnya metode deteksi eksoplanet, metode Spektroskopi Doppler merupakan senjata yang cukup ampuh dengan menghasilkan lebih dari separuh sistem keplanetan ekstrasolar yang dikenal sekarang. Metode ini mengukur kecepatan radial bintang induk melalui spektrumnya. Fasilitas High Accuracy Radial velocity Planet Searcher (HARPS) milik European Southern Observatory menggunakan prinsip ini dengan ketelitian hingga 0,97 meter per detik.

Lain halnya dengan metode Astrometri. Astrometri mengamati gerak bintang di bidang langit yang dipengaruhi oleh massanya dan massa planet-planetnya, jarak antara planet dan bintang induk, serta jarak sistem terhadap pengamat. "Astrometri dan kecepatan radial diukur dengan prinsip kinematika, sedangkan metode Transit, Microlensing, dan Direct Imaging menggunakan asas fotometri," sebut pria yang meraih gelar doktor di bidang Astrofisika di Universitas Paris 7-Denis Diderot, Prancis tersebut.

Jasa Wahana Kepler dalam 20 Tahun Pencarian Eksoplanet

Keingintahuan manusia akan kehidupan ekstraterestrial telah memunculkan banyak pertanyaan mengenai eksoplanet. Namun, di antara banyaknya planet yang disurvei dan ditelaah oleh astronom-astronom dunia, hanya sebagian yang berkemungkinan dihuni oleh bentuk kehidupan seperti di Bumi. Suatu eksoplanet harus terletak di Habitable Zone, baik secara stelar maupun secara galaktik, untuk memiliki kondisi kehidupan layaknya Bumi. Kondisi ini pada umumnya adalah kondisi dimana air dapat ditemukan dalam bentuk cair. Lokasi Habitable Zone bergantung pada beberapa faktor, seperti jarak eksoplanet terhadap bintangnya. Isi dari planet juga memengaruhi kemungkinan adanya kehidupan di planet tersebut. Melalui spektroskopi, beberapa eksoplanet dengan massa lebih besar dari massa Bumi dan kurang dari massa Neptunus disinyalir terselimuti oleh air dalam bentuk cair. Kandidat eksoplanet yang termirip dengan Bumi hingga saat ini adalah Kepler-452b. Eksoplanet yang tergolong Super-earth ini mengorbit bintangnya dengan periode 385 hari. Mengitari sebuah bintang kelas G2 pada konstelasi Cygnus, Kepler-452b menerima energi dari bintangnya dalam jumlah yang hampir sama dengan yang diterima Bumi dari Matahari. Eksoplanet ini ditemukan oleh wahana antariksa Kepler milik NASA yang diluncurkan pada 2014 lalu. Penemuannya pada Juli 2015 lalu menandai 20 tahun pencarian eksoplanet oleh manusia.

Kuliah umum ini memberikan pandangan dan wawasan kepada masyarakat dari berbagai kalangan mengenai perkembangan MIPA sejauh ini. Seri Kuliah Umum perdana ini membawa tema besar "Memahami Alam Semesta" dengan pembicara dari staf pengajar FMIPA ITB. Sesi pertama diisi oleh Dr. rer. nat. Rino Rakhmata Mukti yang memberikan wawasan mengenai "Kimia Terinspirasi Alam" dan Dr. Johan Matheus Tuwankotta yang membahas "Chaos vs Keteraturan". Sesi kedua diisi oleh Prof. Dr. rer. nat. Bobby Eka Gunara dengan tema "Teori Unifikasi dan Materi Gelap" dan Prof. Dr. Taufiq Hidayat yang berbicara tentang "Berburu Planet di Bintang Lain". Seri Kuliah Umum yang diinisiasi oleh Prof. Dr. Hendra Gunawan dari program studi Matematika ini akan dilaksanakan sebanyak empat kali dalam setahun dengan menghadirkan tema yang hangat dan fundamental dalam memaknai kehidupan terkini melalui sudut pandang sains. "Seri kuliah ini akan diunggah ke YouTube agar masyarakat dapat mengerti isi kuliah yang dibawakan walau berhalangan hadir," tutup Prof. Hendra.

 

Sumber ilustrasi: nasa.gov