Gema Aksara, Pendidikan Perlu Jadi Gerakan
Oleh Luh Komang Wijayanti Kusumastuti
Editor Luh Komang Wijayanti Kusumastuti
Gema Aksara terdiri dari dua mata acara yaitu talkshow pendidikan bertajuk 'Generasi Manusia Indonesia 2045' dan Wahana Cipta Karya serta pameran Wahana Karsa. Talkshow yang dimulai pukul 09.00 WIB ini mengundang Suhaeni Kudus (Education Specialist for Basic Education Programmers UNICEF), Saskia Raisha Putri (UNICEF), dan Herry Dharmawan (Alumni Indonesia Mengajar IV). Selanjutnya peserta dan komunitas pendidikan se- Bandung diajak untuk membuat 1000 alat peraga pendidikan yang akan dibagikan ke rumah belajar himpunan mahasiswa jurusan ITB, serta rumah belajar yang ada di Bandung dan sekitarnya.
Pendidikan Urusan Semua Pihak
Pada sesi pertama talkshow, Suhaeni memaparkan penelitian UNICEF mengenai anak tidak sekolah (out of school children study) di Indonesia. Bukan hanya mengenai data makro, penelitian ini mencari tahu lebih mendalam alasan anak tidak sekolah disamping alasan biaya. Suhaeni menjelaskan, salah satu tujuannya adalah untuk menghasilkan terobosan penting untuk mengurangi angka tidak sekolah (ATS). Pada tahun 2012, jumlah anak tidak sekolah di Indonesia sebanyak 2 juta anak. Angka tersebut telah mengalami penurunan cukup signifikan dari tahun 2010 sebanyak 2,5 juta anak. Tidak sekolah dikategorikan antara lain tidak sekolah sejak kecil maupun putus sekolah karena drop out. "Secara umum, angka partisipasi tinggi pada usia 11 tahun, dan menurun drastis pada usia 15 tahun," ungkap Suhaeni. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakt Indonesia merasa cukup dengan kemampuan baca tulis yang dipelajari pada pendidikan sekolah dasar.
Suhaeni menceritakan berbagai alasan yang ia temukan saat melakukan penelitian langsung. Di sebuah desa terpencil, jarak sangat jauh dan medan yang berat harus ditempuh untuk menuju sekolah oleh anak-anak. "Berangkatnya setelah sholat subuh, membawa obor melintasi sungai untuk menuju ke sekolah. Sampai di sekolah pukul 07.30. Itu pun jika ada guru alhamdulliah, jika gurunya ternyata sedang tidak ada?", cerita Suhaeini. Hal tersebutlah yang dianggapnya berakumulasi sehingga mengakibatkan orangtua tidak menginginkan anaknya untuk melanjutkan sekolah.
Peran orangtua dalam pendidikan, bagi Suhaeni, sangatlah penting. Pengaruh pendidikan Ibu sangat menentukan keberlanjutan tingkat pendidikan anaknya. Di perdesaan, masih banyak orangtua yang tidak melihat nilai tambah pendidikan bagi masa depan. Sehingga anak-anak tidak mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan mereka atau bahkan mencicipi sekalipun. Hal tersebut juga disetujui oleh Herry Dharmawan yang mengabdikan diri selama satu tahun di Kalimantan Barat sepagai pengajar muda.
Bagi Herry, pendidikan tidak hanya mengenai programatik. Tetapi pendidikan harus menjadi sebuah gerakan. "Pendidikan tidak hanya urusan pemerintah dengan program-programnya, tetapi juga urusan semua orang untuk menjadikan pendidikan sebagai gerakan," ungkapnya. Herry menceritakan pengalamannya saat menjadi pengajar muda. Ia menemukan berbagai permasalahan pendidikan, salah satunya adalah tidak meratanya distribusi guru. Padahal perbandingan guru murid di Indonesia lebih besar dibanding dengan negara maju, Korea Selatan. Di Indonesia, satu guru mengajar 16 murid, sedangkan di Korea mengajar 30 murid. Namun masih terdapat daerah yang sangat sulit mendapatkan pengajar. Herry juga berpendapat, tidak hanya sekolah yang bisa dijadikan sebagai tempat belajar, namun semua tempat. Ia mengutip kata Rahmat Jabaril, "Semesta adalah sekolah, dan setiap makhluk adalah guru."
Setelah talkshow, peserta diajak untuk langsung berperan dalam pendidikan di Wahana Karsa. Wahana Karsa dibuat untuk mewadahi kontribusi peserta untuk membuat alat peraga pendidikan yang besar manfaatnya bagi anak-anak di rumah belajar. Selain itu juga ditujukan untuk merubah anggapan bahwa kontribusi pendidikan hanya dengan mengajar. Namun bisa dalam bentuk apapaun termasuk ikut dalam membuat alat peraga ini.
Gema Aksara dilaksanakan muncul dari kegelisahan mengenai Indonesia untuk tahun-tahun ke depan yang memerlukan pemimpin yang bisa menjadi teladan karena memiliki karakter. Fitriawati (Perencanaan Wilayah dan Kota 2012), Kepala Sekolah Skhole ITB, mengungkapkan bahwa cerminan bangsa Indonesia ke depannya bergantung dari generasi kini. "Jangan mengecam generasi masa depan jika kita sekarang hanya berdiam diri dan tidak ikut andil dalam pendidikan mereka," ungkapnya. Karena, baginya, pendidikan bukan hanya perkara intelektual, namun juga mengenai moral yang perlu diteladani.