Kompas Kampus Gemakan Sabuga ITB dengan Diskusi Kemahasiswaan

Oleh Hafshah Najma Ashrawi

Editor Hafshah Najma Ashrawi

BANDUNG, itb.ac.id - Tidak dapat dipungkiri lagi, dinamisasi yang dilakukan mahasiswa merupakan satu fase dari rantai panjang pendewasaan tanah air Indonesia. Gerakan kemahasiswaan saat ini tentu telah berbeda. Guna membantu pencarian rasa itu, Kompas mengadakan dialog terbuka yang dihadiri oleh ribuan mahasiswa dan pemuda seluruh kota Bandung dan sekitarnya dengan ITB sebagai tuan rumah. Acara yang diadakan di Sabuga pada Sabtu (23/05/15) itu turut menghadirkan Arifin Panigoro dan Fadjroel Rachman, Alumni ITB yang dikenal dengan cerita aktivisme mereka sewaktu mahasiswa. Diskusi dengan tajuk "Apa Kabar Gerakan Mahasiswa?" yang dipandu Rosiana "Rosi" Silalahi ini menghadirkan Raditya Dika, salah satu representasi kaum muda dan mahasiswa Indonesia saat ini.

"Setiap zaman ada rasanya, boleh berbeda-beda, yang penting harus selalu ada esensinya mengapa harus turun ke jalan," terang Arifin disela-sela pertanyaan Rosi terkait hubungan zaman dan gerakan kemahasiswaan. Menurut Fadjroel gerakan kemahasiswaan di Indonesia secara praktis terbagi menjadi gerakan konfrontatif dan korektif. Gerakan korektif dengan tenang cenderung memberikan tuntutan demi perbaikan jalannya pemerintahan dan kesejahteraan rakyat, tidak seperti gerakan kedua yang cenderung memicu konflik fisik. Pun demikian, menurut Arifin kedua gerakan tersebut tidak pernah terjadi secara mandiri. Fadjroel mengungkapkan hal senada, konflik Tentara Nasional Indonesia (TNI), misalnya, dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pertarungan petinggi Negara akhir masa orde baru merupakan momen penting pembuka pintu gerakan kemahasiswaan. "Tidak mungkin tidak ada momentum yang menandai suatu gerakan," ungkap Arifin.

Jika disandingkan dengan kemahasiswaan saat ini, Fadjroel mengamati hanya gerakan tahun 1998 dan 1965 yang tergolong gerakan kontradiktif, selebihnya yaitu masa reformis hingga kini hanya sekedar gerakan korektif. Namun, Doktor lulusan Universitas Indonesia itu membenarkan bahwa mahasiswa tidak perlu selalu mengunakan fisik untuk melakukan gerakan subkultur itu, diskusi dengan adab seperti yang dilakukan akhir-akhir ini juga merupakan bentuk gerakan mahasiswa yang terbalut modernitas. Dalam maksud serupa, Dika juga bersuara terkait isu yang memandang sebelah mata, aktivis mahasiswa yang menyuarakan aspirasinya melalui media sosial. Hal tersebut memiliki tujuan yang sama dan bukan untuk disalahkan, hanya saja platform-nya berbeda. "Digital Activism bukanlah sesuatu yang cemen, kita sama-sama menyampaikan sesuatu yang baik, kita berada di kapal yang sama," tegas Dika.

Terkait kegiatan akademis, masing-masing pembicara setuju bahwa kegiatan keorganisasian bercitrakan aktivisme tidak kalah pentingnya. Lebih umum, Arifin menekankan bahwa berkuliah bukan hanya mengerti sesuatu, setidaknya memahami hal-hal lainnya. Dika juga dengan jelas mencontohkan bahwa melek atau memiliki preferensi politik setidaknya harus dimiliki pemuda dan mahasiswa. Bagaimanapun juga, mahasiswa umumnya tidak perlu takut menyatakan diri dalam gerakan kemahasiswaan yang dirasa dipenuhi unsur politis. "Advokasi juga merupakan bagian dari aktivitas kemahasiswaan, begitupun dengan kegiatan intelektual mahasiswa pada umumnya, tidak selalu tentang politik," tambah Fadjroel.

Talkshow kemahasiswaan tersebut adalah bagian dari rangkaian panjang acara Kompas Kampus. Acara yang berlangsung dua hari itu juga mengemas berbagai event seperti kontes Anchor Hunt, lokakarya jurnalistik, Stand Up Comedy, dan Meet & Greet Presenter Kompas serta dimeriahkan oleh stand-stand pendukung acara.

Oleh : Bayu Prakoso (ITB Journalist Apprentice 2015)