Hanya Sebuah Refleksi
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Subuh itu tidak akan pernah saya lupakan. Gundukan pasir berbentuk segitiga raksasa itu bergemuruh. Seketika, dari puncaknya keluarlah lava merah, lalu meleleh ke sekeliling gunung itu. Kegelapan yang menyelimuti pos terakhir Gunung Merapi itu berubah menjadi kemerah-merahan. Segitiga raksasa yang tadinya gelap itu, seakan mengeluarkan urat-uratnya yang merah menyala. Suara gemeretak terdengar setiap kali lava bertubrukan dengan bebatuan di sisi Gunung Merapi. Saya? Saya hanya kelu, diam bergeming memandangi kemahabesaran-Nya, merefleksikan, betapa kecil dan tak berartinya saya dihadapan Alam. Angin dingin yang menusuk tidak terasa lagi, yang tinggal hanyalah kekaguman pada-Nya.
Itulah sekelumit pengalaman dihadapan kemahabesaran Alam. Saat itu, saya masih duduk di kelas dua SMU Seminari Mertoyudan, Magelang dan Merapi sedang dalam keadaan Siaga I. Beruntung sekali pada subuh itu, Gunung Merapi memamerkan sedikit kehebatannya pada saya dan teman-temanku dari Seminari. Bayangkan jika satu batu yang merah menyala itu “kebetulan” mengenaiku. Dengan suhu yang tinggi, ditambah kecepatannya melontar dari perut bumi, dapat dipastikan, saya bisa tewas seketika.
Selain itu, pernah pula saya jatuh ke jurang saat hiking, atau terjebak badai, atau kehabisan air atau jatuh ke sungai saat rafting. Namun, saya selalu diberi kesempatan hidup. Hal semacam itu yang membuatku selalu merindukan berada di alam bebas. Alam menyadarkan saya betapa kecilnya dan tidak berartinya saya; menegur saya dengan kesombonganku sebagai manusia. Ia menyentakku bahwa kehidupan ini sangat berharga, bukan hanya kehidupan manusia, tapi kehidupan mahluk lain: hewan, tumbuhan. Seakan saya dipaksa berefleksi sejenak ke belakang: apa yang telah saya lakukan yang melukai lingkunganku, apa yang seharusnya saya lakukan tapi tidak saya lakukan.
***
Bencana di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara memang menyentak Indonesia, dan dunia. Jumlah orang yang meninggal mencapai orde puluhan ribu. Sangat menyakitkan hati saat melihat jenazah-jenazah itu dijejer di pinggir jalan, atau saat jenazah-jenazah itu dikuburkan secara massal. “Itu manusia!” hatiku berontak. Dibalik setiap kantong mayat itu ada pribadi-pribadi yang memiliki anak, yang memiliki ayah-ibu, yang memiliki kekasih.
Entahlah apa maksud bencana ini. Setiap orang memiliki interpretasi dan persepsinya masing-masing. Disela-sela gaung berbagai posko bantuan untuk saudara-saudara di NAD dan Sumut dan kepanikan orang-orang mengenai sistem mitigasi bencana, saya hanya hendak mengajak kita untuk sejenak berbalik ke diri kita sendiri. Di akhir tahun ini, manusia memang disentakkan oleh kejadian mahadasyat: 80.000 nyawa melayang dalam satu hari, dalam beberapa jam dan ribuan lainnya hilang –tidak jelas nasibnya. Seakan Alam marah pada manusia. Benarkah begitu?
Ribuan hektar hutan di Riau hilang tiap menitnya karena ditebangi. Itu baru di Riau. Hutan-hutan di pinggir kota seperti Jakarta (Bogor, Puncak) dan Bandung (Dago Atas, Puncak Ciumbeluit) disulap menjadi beton-beton villa dan aspal. Kekayaan alam dikuras habis-habisan di seluruh penjuru nusantara, dan yang ditinggalkan malahan tailing yang beracun, lubang tambang yang menganga, kehancuran ekosistem. Tidak usah jauh-jauh, mungkin hal-hal di atas bisa terjadi di sekeliling kita, kecil-kecilan: taman kota dipenuhi sampah, sungai-sungai dipenuhi sampah dan limbah, ikan-ikan dan koral-koral mati karena lautnya tercemar. Berapa persen perumahan di kota-kota besar yang memiliki lahan hijau?
Pantaskah Alam marah? Atau, pantaskah kita dihukum? Mari, sempatkan hening sejenak, mundur dari sorak-sorai pesta tahun baru. Dalam keheningan, mari coba refleksikan, renungkan, dan endapkan: mengapa ini bisa terjadi, siapa yang salah, benarkah alam marah. Jawablah dalam hati dan mari kita buat satu tahun ke depan yang memperbaiki kesalahan dan dosa kita pada lingkungan sekitar, pada Alam.