Hari Ketiga, Pasanggiri Rampak Sekar, Lustrum VII
Oleh
Editor
Merupakan kegiatan Paduan Suara Sunda untuk tingkat SMA Se- Jawa Barat,dan rangkaian acara untuk memperingati hari jadi LSS yang ke–35. Lomba dilaksanakan selama 3hari berturut–turut, 22 –24 Agustus 2006, di Aula Barat ITB, mulai pukul 09.00 wib–selesai. Untuk hari ketiga, mengikutsertakan 11 SMA, yaitu SMA YAS Bandung, SMA I Sumedang, SMA 2 Sumedang, SMA Pasundan I Bandung, SMA Pasundan 7 Bandung, SMA I Cianjur, SMA 19 Bandung, SMA 5 Karawang, SMA YWKA Bandung, SMA Mekar Arum, dan SMA 3 Bandung.
Tiap peserta membawakan dua lagu, lagu wajib berjudul Hidup Baru karya budayawan Nano S dan lagu pilihan diantaranya, Bulan Dagoan, Becak, dan Mumunggang Priangan. Serta penampilan dari Yufa dalam Pewacanaan Budaya Sunda.
Lomba paduan suara sunda ini merebutkan piala bergilir Gubernur Jawa Barat dan piala tetap Rektor ITB. Untuk juara I tahun ini adalah SMA Pasundan I, Juara II diraih SMA 2 Sumedang, SMA Pasundan 7 sebagai juara III. Sementara juara favorit dipegang oleh SMA 3 Bandung.
Menurut Dr. Ciptati MS,M.Sc, dari Staf Bidang Kemahasiswan ITB, kegiatan seperti ini harus didukung dan ditingkatkan penyelenggaraannya karena dengan cara ini kita bisa merangsang dan mengingatkan bahwa budaya itu patut dipertahankan dan dikembangkan, karena seni itu bagian dari budaya itu sendiri. LSS sebagai penyelenggara dan mahasiswa diharapkan mereka bisa lebih kritis menyikapi perhatian terhadap seni budaya sunda dan bisa rutin mengadakan pasanggiri. Setidaknya ada ajang pertandingan diantara peminat seni terutama dalam budaya sunda, kalau tidak ada pertemuan seperti ini, maka kurang ada dorongan terutama bagi sekolah-sekolah yang mempelajari bahasa Sunda untuk menggali kebudayaan sunda itu sendiri, tidak hanya sekedar bahasanya saja. Untuk generasi selanjutnya diharapkan lebih bisa menikmati kawih, kinanti, pupuh dari pada budaya pop lainnya.
Sementara pendapat Pak Son-Son Jaya, budayawan Sunda yang rutin mengikuti pasanggiri, berpendapat peserta tahun ini berkurang, dan mungkin salah satu penyebabnya adalah pakaian seragam, contohnya ada sekolah yang ingin ikut tapi terhalang karena tidak ada biaya dalam berbusana sunda.Tidak ada salahnya untuk pagelaran berikutnya, peserta bisa memakai pakaian seragam sekolah, yang terpenting adalah kecintaan mereka berbudaya sunda. Serta masih disayangkan tentang busana dan gerak para peserta yang tidak mencerminkan budaya sunda dalam pasanggiri melainkan seperti vocal grup kebanyakan. Takutnya pasanggiri kedepan unsur kebudayaan nya hilang hanya menampilkan kualitas suara dan penampilan luar.