Hasil Kajian Pencemaran Teluk Bima, Ini Solusi dari ITB

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Fenomena buih misterius yang muncul di permukaan Teluk Bima sempat menjadi perhatian masyarakat sekitar dan Indonesia. Menurut masyarakat setempat, kemunculan buih coklat seperti ini di Teluk Bima terjadi hampir setiap tahun, tetapi akhir-akhir ini bertambah besar. Menyikapi hal ini, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (FTSL ITB) melakukan penelitian lapangan dengan pengambilan sampel pada 5 titik. Hasil penelitian disampaikan pada Konferensi Pers secara hybrid yang dihadiri oleh berbagai media pada Selasa (15/6/2022).

Konferensi Pers menghadirkan Pakar Rekayasa Air dan Limbah Cair FTSL ITB Prof. Dr. Ing. Ir. Prayatni Soewondo, M.S., dan Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut Drs. Dasrul, M.M., M.E., M.H., sebagai narasumber. Penelitian ini bekerja sama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB (PSLH ITB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di lapangan, tim peneliti juga dibantu oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Bima dan Perwakilan Pemerintah Kota Bima.

Menurut Prof. Prayatni, Teluk Bima jika dilihat dari aspek geografis yakni berbentuk setengah tertutup. Hal ini didukung oleh riset skala global bahwa 76% dari peristiwa Algae Blooming terjadi di area semi enclosed sea (laut yang setengah tertutup). Kandungan nutrient di Teluk Bima juga berkonsentrasi tinggi yang menyebabkan tumbuhnya algae golongan diatom yang sangat pesat berbentuk buih berwarna coklat atau disebut peristiwa Algae Blooming. Fenomena buih terjadi saat komponen air laut diganggu oleh angin, ombak, dan fitoplankton (penyebab buih berwarna coklat).

Selain itu, dilakukan uji toksisitas air laut pada 5 titik (3 garis panti dan 2 sungai) dan menunjukan hasil yang relatif konsisten. Kandungan toksisitas air laut lebih besar dibandingkan air sungai. Indikasi jenis pencemar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu limbah domestik (N, P, organik, dan coliform), pertanian dan perikanan (N dan P), dan kandungan minyak (TPH, toluene, serta oil dan grease).

Peristiwa ini tentu berdampak pada masyarakat sekitar. Di tanggal 27 April 2022, terjadi kasus keracunan akibat konsumsi ikan mati akibat pencemaran di Desa Lewintana. Selain itu, IPLT Kota Bumi menjadi tidak berfungsi. Data Dinas Pertanian Kota Bima, lahan atau area tanaman jagung tahun 2016 hanya seluas 300 hektar, tetapi memasuki tahun 2020 luas lahannya mencapai 6.000 hektar. Lahan jagung di Kabupaten Bima adalah selus 68.344 hektar pada tahun 2019.


Menurut hasil kajian, peristiwa ini tidak bisa diprediksi karena berdasarkan penelitian citra satelit per tanggal 14 Mei 2022 kemunculan sudah tidak ada, akan tetapi salah satu partisipan Konferensi Pers menyebutkan bahwa tanggal 22 Mei 2022 muncul kembali. Sehingga Prof. Prayatni mengimbau masyarakat untuk tidak beraktivitas berlebihan dan mengonsumsi ikan di Teluk Bima.

Solusi Prof. Prayatni menyikapi hal ini yakni dengan melakukan rekayasa dan pengolahan sedemikian rupa terhadap limbah dari aktivitas ekonomi masyarakat sekitar sebelum dibuang ke Teluk Bima sehingga potensi pencemaran di Teluk Bima bisa ditekan. Fenomena di Teluk Bima disebabkan oleh kegiatan multi sektoral sehingga masih perlu banyak dilakukan kajian ulang. Para peneliti juga tengah memelajari pola arus di Teluk Bima apakah polutan terus ada di tempat atau berpotensi menyebar ke laut lepas.

Sementara itu, Drs. Dasrul, mengatakan fenomena tersebut belum ditemukan di provinsi lain, baru terjadi di Teluk Bima. Ia juga mengimbau agar masyarakat selalu berhati-hati karena kondisi air mengandung racun.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)