HMH ‘Selva’ ITB Ajak Publik Mengenal Ekonomi Hijau Melalui Forestshare 5

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—HMH ‘Selva’ ITB sukses menggelar kegiatan webinar Forestshare 5 yang mengangkat topik ekonomi hijau pada Sabtu (19/2/2022). Lewat kegiatan anual ini, himpunan yang menaungi mahasiswa jurusan Rekayasa Kehutanan tersebut berharap dapat mengedukasi publik mengenai keseimbangan pilar lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Egi Suarga, Manajer Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon, menjadi narasumber pertama yang menyampaikan pandangannya. Menurutnya, saat ini tren global tengah beralih haluan ke arah green economy. Tentu, hal ini dipandang baik karena perubahan iklim telah menjadi risiko dan tantangan bersama. “Jika kita tidak melakukan apa-apa, kenaikan suhu 1,5oC akan terjadi dengan lebih cepat dan berdampak pula pada sektor ekonomi,” ujarnya.

Oleh karena itu, Egi menyatakan bahwa upaya menyinergikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan perlu dilakukan. Salah satunya melalui skema pasar karbon cap and trade. Secara garis besar, instrumen tersebut memungkinkan pemerintah untuk menetapkan dan mengalokasikan izin emisi kepada instalasi-instalasi (cap). Selanjutnya, evaluasi akan dilakukan pada akhir periode dan jika emisi yang dihasilkan lebih, maka instalasi harus membeli izin tambahan dari sesama instalasi atau melalui lelang (offset).

Selain skema pasar karbon, masih banyak lagi strategi-strategi transformasi ekonomi hijau yang dapat diterapkan di Indonesia. Meskipun demikian, masih banyak pula tantangan yang harus dihadapi. “Besarnya investasi, risiko aset standar, serta kesiapan transfer teknologi dan migrasi SDM perlu menjadi perhatian kita semua,” simpul Egi untuk mengakhiri sesinya.

Sesi kedua Forestshare 5 dihadiri oleh Dr. Joko Tri Haryanto dari Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Dalam pemaparannya, Dr. Joko menjelaskan bahwa pemerintah memiliki komitmen untuk mitigasi perubahan iklim melalui perumusan Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE).

“Untuk pembaharuan NDC di tahun 2021, ada penambahan sektor maritim dan usaha dalam muatan adaptasi. Hal itu diperlukan karena Indonesia memiliki muatan adaptasi terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayatinya yang tersebar di 17.508 pulau,” sebutnya.

Menurut Dr. Joko, jika disangkutpautkan dengan bahasan isu perubahan iklim dan ekonomi hijau, Indonesia masih sangat membutuhkan pendanaan yang besar. Secara khusus, untuk mewujudkan rancangan strategi jangka panjang dalam mencapai NZE, pemerintah masih perlu memastikan setiap subsektor mendapatkan pembiayaan.

Pada sesi terakhir, Haikal Sayyid Difa, ketua HMH ‘Selva’ ITB turut hadir untuk menyuarakan tinjauan isu perubahan iklim melalui sudut pandang mahasiswa Rekayasa Kehutanan. Ia mengungkapkan bahwa deforestasi merupakan salah satu sumber utama problematika pemanasan global. Pasalnya, sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar, deforestasi dapat menurunkan keanekaragaman hayati dan fungsi hutan.

Untuk memberikan gambaran fenomena perubahan iklim di Indonesia, Haikal kemudian membawakan sebuah studi kasus yang terjadi di Taman Nasional Gunung Ciremai. “Hutan di sana tidak bisa lepas dari isu kebakaran, terutama akibat erupsi dan kekeringan di musim kemarau,” katanya.


Berdasarkan kajian HMH ‘Selva’ ITB, ada beberapa mitigasi yang dapat dilakukan seperti pembuatan sekat bakar, pemantauan hotspot lebih dini menggunakan penginderaan jauh, dan pemodelan spasial. Lebih lanjut, Haikal menjelaskan tentang blok lambosir di Taman Nasional Gunung Ciremai yang terjadi akibat penghambatan proses suksesi alami. Apabila diamati, terdapat tutupan lahan yang berbeda dengan sedikit pepohonan sehingga perlu dilakukan beberapa upaya untuk mengurangi dampaknya.

Sebagai penutup, Haikal pun menyampaikan empat rancangan pemulihan ekosistem di blok lambosir yang bisa dikaji lebih lanjut. “Menurut keilmuan rekayasa kehutanan, kita bisa meninjau dinamika perubahan tutupan vegetasi selama 20 tahun terakhir, analisis potensi regenerasi dengan seed bank, pengamatan spesies alien, dan karakter tanahnya”, sebutnya.

Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)