Inspektur Jenderal KLHK Bahas Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Alam sebagai Basis Pembangunan Wilayah dalam Webinar SAPPK
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Indonesia saat ini telah memasuki urban era di mana perdesaan tidak lagi mendominasi. Perkembangan perkotaan di Indonesia membuka babak baru dalam upaya menghadapi tantangan perubahan kualitas lingkungan hidup akibat pembangunan. Meskipun demikian, pembangunan wilayah setidaknya harus tetap menjadi perhatian sebagai basis perkembangan perdesaan dan periurban.
Lebih lanjut, tata kelola lingkungan dan pembangunan wilayah berkelanjutan disampaikan oleh Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Ir. Laksmi Wijayanti, M.CP., dalam webinar SAPPK sesi 8 yang digelar secara hybrid dengan judul “Tantangan Keberlanjutan Lingkungan dalam Pembangunan Wilayah” pada Kamis (18/11/2022).
Visi Indonesia tahun 2045 yang berdasarkan kerangka kerja green economy mendorong resiliensi nasional untuk menciptakan sistem ekonomi berkelanjutan. Menurut Laksmi, Indonesia sangat berpotensi menjadi super power di bidang biodiversitas sebagai basis untuk pangan, energi terbarukan, serta pengembangan layanan dan infrastruktur kesehatan.
Ketika negara lain berlomba-lomba untuk menjadikan sektor jasa sebagai andalan perekonomiannya, Indonesia yang masih mengandalkan sektor sumber daya dapat melakukan reformasi untuk mengubah metode ekstraktif menjadi layanan/jasa berbasis sumber daya.
“Berbicara mengenai pengembangan wilayah, Indonesia jelas sebuah negara yang tidak ada duanya. Di satu sisi membuat dia sangat kaya, di sisi lain negara ini ekosistemnya sangat sensitif. Tantangannya adalah bagaimana kita mengelola landscape Indonesia yang sangat unik seperti ini,” lanjutnya.
Laksmi juga menjelaskan tiga ekosistem utama yang harus menjadi perhatian dalam pengelolaannya adalah hutan hujan, gambut, dan mangrove. Ketiganya merupakan indikator kunci dalam pendekatan ekosistem strategis Indonesia sekaligus menjadi bagian dari misi KLHK. Ekosistem-ekosistem ini memiliki porsi paling besar di Indonesia sehingga menjadi representasi strategi rehabilitasi lingkungan hidup.
“Gambut sendiri kita ada 14 juta hektar tetapi kemudian yang harus diperbaiki adalah 2 juta hektar. Mangrove kita juga bicara sekitar 4 juta hektar dan ditargetkan harus direhabilitasi sampai 600 ribu hektar dalam lima tahun. Artinya persentase antara yang ada dengan yang harus dipulihkan juga cukup signifikan.”
Beberapa isu yang mengiringi upaya rehabilitasi tersebut adalah layanan yang terus menurun dan kemiskinan. Terutama bagi masyarakat di pinggiran hutan, kemiskinan masih menjadi isu terbesar karena minimnya aksesibilitas ke wilayah mereka. Merespons hal tersebut, pemerintah kemudian membuat terobosan untuk membuka akses hutan dan sumber daya alam di dalamnya agar kesejahteraan masyarakat di sekitarnya bisa membaik.
Kebijakan pemerintah tentang perhutanan sosial dan reforma agrarian misalnya. Melalui kebijakan ini, sebanyak 12 juta hektar wilayah hutan akan diberikan aksesnya kepada masyarakat untuk dimanfaatkan. 4 juta di antaranya merupakan objek reforma agraria yang mampu menginisiasi pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar ekosistem tersebut.
Target pertumbuhan wilayah inilah yang harus dikelola dengan benar karena merupakan daerah yang bersinggungan langsung dengan ekosistem ekosistem paling sensitif serta kawasan yang menjadi peruntukan konservasi. Menurut Laksmi, dalam beberapa tahun ke depan komunitas masyarakat ini dapat diarahkan untuk menjadi kantong-kantong pertumbuhan baru yang mampu menjadi penyeimbang bagi wilayah perkotaan.
“Semua wilayah ini akan menjadi driving force pembangunan yang harus segera dikelola, harus punya framework yang jelas, instrumennya harus tepat. Kita lihat juga sisi sustainable development, aktornya ada sisi bisnis, ada sisi masyarakat, yang banyak dipengaruhi oleh tatanan perdagangan ekonomi yang sekarang sudah banyak berubah,” ujarnya di akhir sesi pemaparan.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)