International Seminar Visual Art and Design for the Society: Men-seni-kan Masyarakat
Oleh asni jatiningasih
Editor asni jatiningasih
Bandung, itb.ac.id - Sabtu (8/12) dalam rangka memperingati ulang tahun ke-60 Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Visual Art and Design for the Society” bertempat di Aula Barat ITB. Sebagai pembuka, keynote speaker, Prof.Dr.Satrio Soemantri Brojonegoro, menyampaikan “The Future of Fine Arts and Design: Educational Perspective”. Disampaikan beberapa concern berkaitan dengan seni rupa dan desain di Indonesia, khususnya, seni rupa dan desain belum menjadi kebutuhan pokok masyarakat, mahal, dan sulit dipahami juga dinikmati oleh masyarakat pada umumnya. Dalam sebuah penampilan, seni masih dilihat hanya dari segi utility-nya dibandingkan message-nya sehingga penghargaan atas seni berkurang. Dari perspektif pendidikan, pendidikan tinggi seni rupa dan desain perlu ‘mendidik’ masyarakat untuk memahami, menikmati, dan menghargai seni. Pesan tersebut disampaikan melalui produk seni yang dapat dinikmati semua orang dari berbagai latar belakang. Seorang akademisi seni perlu memahami mindset masyarakat dan membangun paradigma baru untuk membangun masyarakat demokratis melalui kekuatan seni rupa dan desain.
Paradigma baru seni rupa dan desain, menggali potensi budaya dengan penelitian, menjadi tema dalam sesi pertama. Budayawan, Prof.Dr.Mudji Sutrisno, ‘membaca’ kebudayaan dengan seni rupa dan desain. Menurutnya, akademisi membaca kebudayaan dalam bingkai teori besar yang sistematis, sedangkan society membaca dalam bingkai teori kecil, kebudayaan dimaknai sebagai keseharian yang sederhana dan berharga. Sebagai jembatan kedua hal tersebut, membaca kebudayaan membutuhkan pemahaman yang tidak hanya rasional, tetapi juga pemahaman intuitif atas semua wacana yang muncul. Kajian kritis mengenai budaya yang diindustrikan dan kultural dalam seni, menurutnya, perlu diadakan. Profesor FSRD, Prof.Imam Buchori Zainuddin, mengungkapkan consilience (mempersatukan ilmu pengetahuan) sebagai paradigma baru dalam pendidikan tinggi seni dan desain. Seni dan estetika adalah ‘the science of sensitive knowing’ seperti dikutipnya dari Baumgarten. Melihat seni hanya dari sudut keindahannya saja hanya akan berakhir pada kenikmatan, padahal fungsi seni yang paling penting adalah meningkatkan derajat moralitas. Seni erat kaitannya dengan pengetahuan dan ajaran agama, ketiganya adalah ‘unity of truth’. Adapun kaitan seni dengan sains, unsur kreativitas dan imajinasi dalam merefleksikan kehidupan yang dimiliki oleh mereka yang menggeluti seni dianggap dapat memberikan pencerahan dalam menentukan hipotesa dan teori baru bagi calon saintis, seniman berusaha menggali fakta secara subyektif sedangkan saintis menggali fakta secara obyektif. Konsep consilience dapat mengiringi perubahan spirit zaman, khususnya bagi universitas sebagai agen perubahan. Sybrand Zijlstra (Belanda), mengungkapkan desain sebagai fenomena yang natural. Kemudian dibahas juga mengenai munculnya kebingungan konsep desain akibat reaksi yang lambat terhadap perubahan. Sybrand juga banyak membahas tentang kreatif industri dan city branding. Jonathan Zilberg (USA) mengungkapkan pengaruh sejarah, arkeologi, dan antropology terhadap karya seni. Jonathan melihat kemiripan prinsip seni di beberapa negara sebagai ‘golden germ’ ekspresionisme global.
Dalam sesi kedua diangkat tema keterlibatan dan peran seni rupa dan desain untuk masyarakat dalam perspektif cluster kreatif. Nia dinata, seorang profesional sinematografi, menceritakan pengalamannya dalam industri film. Film sebagai produk seni banyak mengangkat wacana yang berkembang di masyarakat. Nia memutar beberapa trailer film yang disutradarainya. Fotografer, Jay Subyakto, memperlihatkan karya-karya fotografinya yang mengangkat tema alam, bencana alam, dan kekayaan budaya Indonesia. Karya-karya fotografi Jay banyak menyentuh sisi humaniora yang menggugah emosi. Dari segi teknologi, Armein Z.R.Langi, Ph.D, melihat teknologi digital menjadi platform yang mengakselerasi masuknya seni ke dalam pusat proses ekonomi. Tidak saja sebagai artifak seni, teknologi digital juga memfasilitasi organisasi manusia dalam menghasilkan masterpieces. Perkawinan seni dan teknologi digital memungkinkan seni rupa dan desain menjadi pembangun kemakmuran dalam era ekonomi kreatif seperti sekarang. Pembicara terakhir, Prof.Sulaiman Abdul Ghani,MFA (Malaysia) mengangkat topik perspektif sejarah batik di Malaysia. Keberadaan batik di Malaysia tidak lepas dari peran serta para saudagar dan ulama dari luar Malaysia, termasuk Indonesia. Desain batik Malaysia penuh warna dan hangat. Industri batik di Malaysia melibatkan generasi muda terutama dalam hal desain, disesuaikan dengan selera mereka. Menurut Sulaiman, dalam hal perdagangan harus ada kompromi dengan selera market, apalagi Malaysia hendak membidik masyarakat internasional dengan industri batiknya. Hal ini dalam rangka memastikan indusri batik berkelanjutan, tetapi tetap memelihara elemen tradisi. Presentasinya diakhiri dengan peragaan busana batik Malaysia. Dalam sesi pertanyaan, Sulaiman banyak dihujani pertanyaan terkait akivitas Malaysia dalam membuat hak paten atas beberapa kekayaan budaya.
Seminar internasional selain diisi dengan materi, juga diisi dengan beberapa pergelaran seni seperti penampilan angklung ITB dan pembacaan puisi. Seminar berakhir pada pukul 16.00.