ITB Bangun Geodesic Dome untuk Posko ITB dan Unram di Lombok
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id -- Pasca gemba bumi beberapa waktu lalu di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) membuat banyak rumah-rumah warga rusak. Mereka pun kini banyak tak punya tempat tinggal, terutama di Lombok Utara sebagai daerah paling parah mengalami kerusakan, sehingga banyak yang terpaksa tinggal di tenda pengungsian.
Sebagai bentuk kepedulian akan hal tersebut, Tim Satgas Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk gempa bumi Lombok, membuat beberapa prototipe shelter dari bambu baik untuk kebutuhan shelter keluarga maupun komunal. Selain shelter, ITB juga tengah membuat prototipe hunian sementara dari rangka bambu dan dinding bambu plester. Di lahan yang sama, ITB juga membangun Posko ITB-Unram sebagai pusat koordinasi kegiatan bantuan ITB-Universitas Mataram (Unram) untuk korban Gempa Lombok dengan model Geodesik Dome 3V.
Pembuatan dome tersebut diinisisasi oleh Dr.-Ing. Andry Widyowijatnoko ST, MT dari Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB. Lokasi pembuatannya berada di Desa Medana, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.
Proses pengerjaan dome tersebut dimulai sejak 7 September dan rencananya akan diresmikan secara langsung oleh Rektor Universitas Mataram. Dalam proses pengerjaannya, tim yang terlibat berjumlah 10 orang. Enam orang di antaranya adalah mahasiswa ITB dan empat lainnya tukang.
Bentuk dari dome tersebut sepertinya memang agak unik dari posko yang lain. Bentuknya menyerupai kubah setengah lingkarandengan bahan dasar semuanya dari bambu dan menggunakan sambungan khusus. "Proses pengerjaan saat ini sudah selesai pemasangan rangkanya. Akan dilanjutkan dengan pemasangan membran penutup luarnya," kata Dr.-Ing. Andry kepada Humas ITB belum lama ini.
Dr.-Ing. Andry menjelaskan, desainnya sendiri berdasarkan geodesic dome 3V, yang nantinya terdapat tiga jenis panjang bambu dan tiga jenis sambungan. Semakin banyak jenis bambu dan sambungannya akan semakin mendekati bentuk bulat mulus.
Bambu yang dibutuhkan untuk membangun dome tersebut berjumlah 165 buah yang berasal dari bahan lokal setempat. Hanya sambungan mangkuk baja dan alat sambung ke bambu yang dibuat dan dibawa dari Bandung. "Nanti yang kita bawa kembali ke Bandung juga hanya alat sambungnya saja. Bambu kita tinggal. Pola ini akan kita pakai lagi jika ada kondisi darurat di tempat lain, sebagai posko ITB," ujarnya.
Alasan dipilih bambu karena bambu terdapat di hampir seluruh Indonesia, murah dan paling gampang dipakai untuk struktur temporer. Dengan demikian pendirian geodesic dome sebagai posko bisa menghemat ongkos transport, di samping mempromosikan bambu buat masyarakat setempat.
Selain dome, tim juga telah membuat huntara dari bambu, prototipe shelter terpal dengan struktur bambu memakai sambungan dari tali rafia, prototipe terowongan bambu dengan bentang 7 meter dengan penutup terpal dan sambungan tali rafia untuk shelter komunal atau kelas temporer.
"Selain bambu, tali rafia juga dipakai pada prototipe shelter dan ruang kelas temporer sebagai sambungan. Tali rafia terdapat dimana-mana dan murah. Ide membangun prototipe shelter dan ruang kelas temporer dengan bambu dan rafia adalah memberikan solusi teknologi paling sederhana untuk kebutuhan mendesak," katanya.